Jumat, 07 Januari 2011

LUSI.... OH LUSI.....

BAIT PERTAMA

Segala sesuatu yang ada di alam bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia.  Air, udara dan tanah beserta kandungan di dalamnya merupakan barang bebas namun seiringnya waktu semua hal tersebut menjadi barang ekonomis, karena fungsinya yang dapat digunakan untuk mensejahterakan masyarakat.  Tentu saja alam memiliki aturannya sendiri, yaitu keseimbangan.  Keseimbangan dan keharmonisan antara manusia dan lingkungannya itulah yang akan menjamin kelangsungan hidup, jika keseimbangan dan keharmonisan diantara keduanya sudah tidak bisa dijaga atau dipertahankan maka bencana lah yang akan terjadi.                      
Dan tiada bencana di alam semesta ini yang terjadi terkecuali diakibatkan oleh ulah manusia.  Manusia disini bisa diartikan manusia secara individual atau masyarakat.  Seperti dalam hukum mekanika, yaitu :
aksi = reaksi dan aksi = -reaksi
Maksudnya, jika bumi (lingkungan) diperlakukan tidak adil (baca : dieksploitasi terus) maka ia akan melampiaskan kemarahannya melalui caranya sendiri.  Dalam kasus ini, apakah yang dimaksud “manusia” adalah masyarakat Porong?  Apa karena kejadiannya terjadi di Porong? atau “manusia” yang dengan serakah menyedot isi perut bumi di luar daya dukungnya? atau “manusia” yang mengeluarkan dan mengesahkan kebijakan dalam pemberian izin untuk menyedot isi perut bumi?
Keseimbangan antara manusia dengan alam telah terganggu, dan dalam hal ini tentu saja dikarenakan ulah sekelompok manusia.  Manusia dengan tingkat kemajuan berpikir yang sangat pesat dan telah meninggalkan nilai-nilai konvensional, tentang keseimbangan alam.  Itu hanya sekedar mitos belaka bagi manusia modern, yang lebih berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknologi.  Perubahan nilai tersebut pun mengubah pola hidup masyarakat, dimana sebelumnya adalah hidup bersama dengan saling memenuhi kebutuhan bersama menjadi materialistis yang segala sesuatunya dinilai secara ekonomis atau matematis.  Eksploitasi pun menjadi euphoria baru.
Sayangnya eksploitasi yang dilakukan tak pernah memperhatikan tentang keseimbangan alam, mereka hanya memikirkan tentang keuntungan yang akan didapatkan, itu saja.  Keseimbangan alam atau apa pun namanya itu tidak pernah ada dalam benak mereka.  Padahal sebagian kecil saja dari sumber daya yang disediakan oleh alam dapat berdaur ulang dan itu pun tidak secara otomatis, tetap membutuhkan perhatian dan perlakuan dari kita untuk itu.
Sekelompok manusia yang mengatasnamakan dirinya penguasa mengeluarkan kebijakan yang katanya untuk “kesejahteraan” masyarakat dalam hal pengaturan tentang eksploitasi alam dan memberikan izin kepada investor.  Ironisnya, masyarakat dimana eksploitasi itu terjadi hampir atau bahkan tak pernah merasakan hasil eksploitasi daerahnya tersebut.  Mereka hanya melihat sumber daya yang ada di daerahnya dikeruk dan dibawa entah kemana.  Bahkan ada masyarakat asli yang ingin menggunakan sumber daya tersebut untuk kebutuhan hidupnya malah dilarang dan mungkin dikenakan sanksi.
Kesejahteraan itu hanya dinikmati oleh segelintir manusia saja, mungkin hanya ekelompok manusia yang mengatasnamakan dirinya penguasa, pengayom dan investor itu saja, yang lain bukan urusan mereka.  Rakyat kecil harus tunduk pada penguasa dan dilarang untuk menikmati apa yang dinikmati oleh penguasa.  Celaka lah penguasa yang demikian karena tentu tak akan ada keadilan disana.
“Manusia” mungkin lupa atau tak mau tahu bahwa bumi yang dipijaknya bukanlah miliknya tetapi juga milik anak cucunya, entah sampai berapa ratus mungkin ribuan tahun ke depan.  Sehingga mereka pun seenaknya saja mengeksploitasi alam, baik yang ada di darat, laut dan udara.  Keserakahan dan ketidakpedulian manusia ini lah yang mengganggu keseimbangan alam dan sebenarnya alam telah berbicara kepada manusia akan ulahnya yang keterlaluan itu, melalui berbagai fenomena alam selama ini dan bahkan dengan adanya bencana yang melanda.
BAIT KEDUA

Fenomena alam akan begitu adanya, yang kalau manusia ramah, alam pun ramah.  Tapi kalau manusia terus mengeksploitasinya tanpa perhitungan jangka panjang, ekosistem alam pun goncang, sesuatu keadaan yang tak terelakkan.   Namun sesungguhnya yang bisa merubah keadaan itu semua adalah sikap hidup kita, kondisi jiwa kita.  Panas akan tetap panas, demikian juga musim dingin akan menebar hawa dingin.  Namun hal itu akan berubah kalau perasaan jiwa kita berubah, karena pada dasarnya, hanya ada 2 (dua) nilai, yaitu baik atau buruk, itulah yang lebih dikenal dengan moralitas, dimana nilai-nilainya tidak akan pernah berubah.


BAIT KETIGA

Dalam rangka melestarikan moral yang baik maka mulailah dilakukan pengaturan-pengaturan tingkah laku (penormaan kebiasaan).  Penormaan tersebut semata-mata bertujuan mengatur kehidupan bermasyarakat, dimana akan rentan terjadinya konflik hak dan kewajiban satu dengan yang lainnya.  Memang dalam penormaan tersebut disertai dengan hukuman, namun hukuman tersebut bertujuan agar penyimpangan tidak berlarut-larut sehingga keseimbangan tetap terjaga.
Fenomena lumpur di Sidoarjo adalah suatu tanda, bahkan hakikat semua kenyataan di atas muka bumi ini adalah tanda, yaitu tanda keagungan Tuhan. Tuhan yang kini seolah dipandang sebelah mata, dianggap remeh seiring kemajuan ilmu dan teknologi yang membius jutaan manusia.  Teknologi telah dianggap senjata ampuh untuk menyelesaikan problem hidup manusia, termasuk untuk menguasai manusia lain.  Manusia lebih mengedepankan teknologi daripada moralitas, nilai-nilai moral yang baik tidak pernah dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan atas apa pun, lebih-lebih yang menyangkut hajat hidup orang banyak.  Bukankah orang-orang kecil yang penghidupan setiap harinya hanya berkubang dengan kemiskinan merupakan kekasih Tuhan.  Jerit derita keseharian mereka sanggup mengetuk pintu rumah Tuhan, sehingga suara mereka adalah suara Tuhan, vox dei vox populi.  Orang-orang kecil memiliki kemungkinan yang kecil untuk melakukan dosa, karena tidak ada kesempatan bahkan mungkin tak pernah terbersit sekalipun.  Beda halnya dengan yang duduk di posisi kekuasaan, kesempatan itu terbentang sangat luas.
Dalam hal ini masyarakat Sidoarjo tidak merasakan kemanfaatan dari eksplotasi yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.  Bahkan untuk sekedar menjadi bagian di dalamnya sebagai tenaga kasar pun tidak ditanggapi oleh PT. Lapindon Brantas, dengan alas an skill dan pendidikan yang tak memenuhi standar.  Jadi mereka benar-benar menjadi penonton saja.  Keadaan tersebut mengakibatkan gap/jurang yang cukup dalam terutama dari aspek ekonomi.  Sadar atau tidak, telah terjadi ketidakadilan disana.  Dan itu dibiarkan saja oleh pemerintah. No Action…!!!
Setelah fenomena lumpur terjadi, siapakah yang menanggung kerugian yang sangat besar? Apakah pemerintah? Apakah PT. Lapindo Brantas? Tidak…!!!  Kerugian yang sangat besar ditanggung oleh masyarakat Sidoarjo.  Mereka dipaksa harus kehilangan rumah, sekolahan, tempat pekerjaan, tempat ibadah, tempat bermain mereka karena  ditenggelamkan oleh Lumpur.  Mungkin nilai nominalnya tidak seberapa namun adakah yang sanggup menggantikan kenangan yang telah ditorehkan disana?
Kenangan atau nilai histories tak pernah masuk perhitungan dalam nilai ganti rugi.  Ganti rugi pun hanya untuk mereka yang bisa menunjukkan bukti kepemilikan, sedangkan darrimana mereka dapat menunjukkan bukti-bukti tersebut jika semuanya telah ditelan oleh lumpur.  Dan bagaimana juga orang-orang yang belum mensertipikatkan asetnya?bisakah mereka mendapatkan ganti rugi?  Dimana keadilan?  Apakah memang masyarakat Sidoarjo tidak berhak untuk menuntut haknya?tidak adakah keadilan bagi mereka?atau memang itu keadilan bagi mereka.
Kebijakan pemerintah dirasakan tidak memihak kepada mereka bahkan peraturan perundang-undangan lainnya pun tidak berbeda.  Keberpihakan tetap kepada PT. Lapindo Brantas.  Kepastian hukum memihak kepada PT. Lapindo Brantas.  Mungkin ini salah satu cantoh kasus dimana keadilan tak sejalan dengan kepastian hukum dan sebagai negara hukum, tentu saja banyak hakim yang hanya mengedepankan kepastian hukum, jika demikian dimanakah keadilan?  Apakah memang keadilan harus rela dikalahkan dengan kepastian hukum?  TIDAK!!!
Hukum diciptakan untuk menegakkan keadilan, jadi bagaimana mungkin keadilan diacuhkan begitu saja.  Seharusnya, jika keadilan dan kepastian hukum tidak sejalan tetap keadilan lah yang harus diutamakan, karena itu tujuan dari hukum itu sendiri.
BAIT KEEMPAT

Hukum keseimbangan alam telah dilanggar, maka alam pun murka. Kalau alam sudah murka, maka yang kena getah atas tindak ketidakadilan, tidak hanya si pelaku tapi banyak orang.  Ibarat naik perahu, satu orang membuat lubang, yang bakal tenggelam tidak hanya si pelaku tindakan tersebut tapi seluruh penumpang.  Peringatan alam berbeda dengan peringatan manusia, peringatan dari ulama, aktivis LSM, dan lainnya.  Peringatan dari kelompok-kelompok sosial ini masih bisa dibantah, tapi kalau peringatan dari alam merupakan peringatan Tuhan yang tidak bisa lagi diprotes.
Hukum keseimbangan terganggu oleh ulah sekelompok manusia.  Keserakarahan dan ketidakpedulian menjadi iman mereka dalam mengeksploitasi alam.  Ulah tersebut pun akhirnya mengakibatkan fenomena alam, bencana yang membuahkan kerugian kepada masyarakat yang tidak menikmati hasil ekspolitasi itu sedikit pun.  Mereka harus rela menerima bencana tersebut dan dipaksa menerima semua kerugian yang ditimbulkan.  Ketidakadilan telah terjadi disana, seekor semut pun jika diinjak akan menggigit, apalagi manusia, sudah tentu mereka pun berjuang untuk mendapatkan keadilan atas hak mereka yang telah dilanggar.
Keadilan atas hak yang sangat prinsip, yaitu hak hidup dan berkehidupan yang layak karena lumpur telah merampas semuanya dari mereka.  Namun, produk hukum yang ada tidak memihak kepada mereka dan sangat sedikit bahkan hampir tidak ada hakim yang lebih memilih keadilan daripada kepastian hukum.  Sehingga hasilnya pun akan mudah ditebak, masyarakat Sidoarjo tidak menemukan keadilan bagi mereka.  Mereka harus menerima itu sebagai takdir karena lumpur itu bencana, jadi tak ada yang bisa dipersalahkan atas bencana.  Dalam hal ini, saya pribadi tidaklah setuju dengan yang terjadi, dimana kepastian hukum mengalahkan keadilan.  Karena awal hukum diciptakan adalah untuk menegakkan keadilan, jadi jika terjadi keadilan tidak sejalan dengan kepastian hukum maka keadilan lah yang harus dimenangkan.  Itu lah mengapa dewi keadilan ditutup matanya karena mata terkadang mudah dikelabui sehingga keadilan pun tampak menjadi lain dan yang lain tampak sebagai keadilan.  Beda halnya jika melihat dengan mata hati, karena hati akan merasakan keadilan itu keadilan bukan yang lainnya yang menyamarkan diri menjadi seperti keadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...