Minggu, 08 November 2009

REFORMASI PERPAJAKAN DI INDONESIA

Sejarah Perpajakan di Indonesia

Pada masa kerajaan dahulu telah ada pungutan seperti pajak. Namun, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara).

Pada awal kemerdekaan, dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan(PPn) 1951 Pengenaan pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut “Landrent” (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut “Landrente”. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964.

Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967 dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965.

Sedangkan untuk pajak penghasilan, dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan, tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diberlakukan kepada orang Eropa seperti “patent duty”. Sebaliknya, business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Selain itu, sejak tahun 1882 sampai tahun 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.

Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yaitu Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yaitu asas keadilan domisili dan asas sumber.

Tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yaitu pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan), dengan berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia dan kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia. Ordonansi ini telah mengenal asas domisili dan asas sumber.

Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Penisbahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam prakteknya lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah UU No. 8 tahun 1970 memasukkan fungsi pajak mengatur/regulerend dalam Ordonansi PPs 1925, khususnya tentang ketentuan “tax holiday”. Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yaitu pada saat diadakannya tax reform.

Tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan “UU MPO dan MPS”. Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.


Reformasi Perpajakan di Indonesia

Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.

Adapun langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi :

1. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (tax policy reform); melalui Perubahan UU PPh, Perubahan UU PPN dan PPnBM, Perubahan UU PBB, Perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang Perpajakan ini lebih dititik-beratkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi, serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

2. Langkah-langkah pembaruan administrasi perpajakan (tax administrative reform); meliputi :

a) penyempurnaan peraturan pelaksanaan undang-undang perpajakan;

b) pembentukan dan perluasan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) khusus Wajib Pajak (WP) Besar (Large Taxpayer Office, LTO), diantaranya meliputi pembentukan organisasi berdasarkan fungsi, pengembangan sistem administrasi perpajakan yang terintegrasi dengan pendekatan fungsi, dan implementasi dari prinsip-prinsip Good Corporate Governance;

c) pembangunan KPP khusus WP menengah, dan KPP khusus WP kecil di Kanwil VI Direktorat Jenderal Pajak;

d) pengembangan basis data, pembayaran pajak dan penyampaian SPT secara online;

e) perbaikan manajemen pemeriksaan pajak; serta

f) peningkatan efektivitas penerapan kode etik di jajaran Direktorat Jenderal Pajak dan Komisi Ombudsman Nasional.

Reformasi perpajakan pertama, tahun 1983, dengan diundangkannya :

1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh 1984);

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN 1984);

4. Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi (UU PBB) dan Bangunan; dan

5. Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (UU BM).

Reformasi undang-undang perpajakan tersebut benar-benar mengganti perpajakan warisan Belanda seperti Pajak Perseroan 1944.

Adapun perubahan yang telah dilakukan adalah :

1. UU KUP telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 16 Tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga).

2. UU PPh 1984 telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1991 (perubahan pertama), UU No. 10 Tahun 1994 (perubahan kedua), UU No. 17 Tahun 2000 (perubahan ketiga) dan UU No. 36 Tahun 2008 (perubahan keempat).

3. UU PPN dan PPn BM 1984 telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 18 tahun 2000 (perubahan kedua) dan UU No. 42 TAhun 2009 (perubahan ketiga).

4. UU PBB telah diubah dengan UU No. 12 tahun 1994 (perubahan pertama), UU No. 20 tahun 2000 (perubahan kedua) dan Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 (perubahan ketiga).

Analisis

1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Salah satu dari undang-undang perpajakan yang utama yang berlaku setelah reformasi perpajakan tahun 1983 adalah Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 hanya berisikan Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tata-cara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara.

Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 tidak mengubah nama UU tersebut, yaitu Ketentuan Umum Perpajakan.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983. Perubahan pertama pada 1994 (berlaku efektif tahun pajak 1995), sedangkan perubahan kedua pada 2000 (berlaku mulai tahun pajak 2001).

Revisi pertama dan kedua, secara substansial, tidak terlalu banyak yang berubah. Fokus perubahan lebih pada upaya meningkatkan kepastian hukum dengan cara mengangkat peraturan pelaksanaan umumnya dalam bentuk keputusan menteri keuangan atau surat edaran dirjen pajak menjadi materi undang-undang. Perubahan lain menyangkut harmonisasi pasal-pasal dalam UU Perpajakan, yaitu memindahkan pasal dari satu UU ke UU yang lain. Ini berbeda dengan revisi UU KUP 2007, dimana perubahannya sangat substansial menyangkut sistem dan prosedur, penataan kembali hak dan kewajiban wajib pajak (WP), sanksi kepada fiskus, dan hubungan antara wajib pajak dan fiskus.

Isu penting dalam Undang-Undang dimaksud adalah mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara Wajib Pajak dan aparatur pajak. Selain itu, perbaikan dan penguatan kewenangan aparatur pajak agar tetap dapat berfungsi efektif namun tetap menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas. Undang-Undang ini akan menjadi acuan bagi perubahan undang-Undang perpajakan lainnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam Undang-Undang tersebut terdapat pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain:

i. Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media elektronik;

ii. Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak;

iii. Sanksi administrasi berupa denda bagi WP yang dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%;

iv. Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak;

v. Dalam rangka mendorong WP mengungkapkan penghasilan yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, WP diberi kesempatan untuk menyampaikan pembetulan dengan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dengan syarat pembetulan tersebut dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU ini; dan

vi. Paling lama satu tahun setelah berlakunya UU ini, WP Orang Pribadi yang sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT WP tidak benar atau lebih bayar.

2. Sistem Pemungutan Pajak

Pada masa sebelum Peraturan Perpajakan tahun 1983 diberlakukan, diterapkan Official Assessment System dimana dalam sistem pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Sistem ini membuat WP bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang pun baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.

Namun setelah tahun 1983, berdasarkan UU Perpajakan Tahun 1983 dan berlalu di Indonesia sejak tahun 1984 sampai sekarang diterapkan Self Assessment System, dimana WP diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini membuat WP aktif, sedangkan fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali WP melanggar ketentuan yang berlaku.

Tiga prinsip yang mendasari sistem dan mekanisme pemungutan pajak adalah:

· Pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melakukan kewajiban perpajakan yang diperlakukan untuk pembiayaan negara.

· Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak sebagai pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri. Pemerintah dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan dan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

· Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong royongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment) sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan rapi, terkendali, sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat wajib pajak.

3. Tarif Pajak

a. PPh

Pokok-pokok pikiran dalam UU No. 36 Tahun 2008 adalah:

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini untuk mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c. Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%, menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP

a. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 21.

b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 23.

c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk WP non NPWP yang menerima penghasilan dipotong PPh Pasal 22

5. Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.

a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial

b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.

c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh

a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak.

b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.

c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak

7. Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI. Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP OP) maupun WP Badan telah terjadi perubahan.

Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.

UU PPh nomor 36 tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)).

Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

b. PPN dan PPn BM

Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18/2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri. Namun kewenangan tersebut dicabut pada UU PPN dan PPn BM yang baru disahkan DPR.

Ketentuan sebelumnya, sesuai UU NO. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan menteri sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tariff PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah. sedangkan untuk tariff PPN diatur dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. UU No. 42 Tahun 2009 secara resmi berlaku sejak 1 April 2010.

c. PPN dan PPn BM

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan untuk Perdesaan dan Perkotaan diturunkan dari 0,5 persen terhadap nilai jual obyek pajak menjadi paling tinggi 0,3 persen dari NJOP. Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB. Kewenangan penetapan tarif PBB akan dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota setelah 31 Desember 2013.

Selain mengubah besaran tarifnya, UU ini juga menetapkan aturan baru tentang Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) dan Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Sebelumnya, NJKP ditetapkan 20-100 persen dari NJOP yang sudah dikurangi NJOPTKP, kini aturan tersebut tidak dipergunakan lagi.


Sumber Penulisan :

1. www.pajak.go.id

2. www.pajakonline.com

3 komentar:

  1. makasihhhhh ini tugas saya d semester 5
    halman bloger nya bagus bangettt ajarin dong cara buat nya

    BalasHapus
  2. Thank you very much for sharing information that will be much helpful for making coursework my effective.

    BalasHapus

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...