Sabtu, 20 Februari 2010

PERBANDINGAN MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN CHILI

Abstrak: “Pembentukan Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk melindungi konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga arbitrase final antara pemerintah dengan warga negara dalam pelanggaran hak konstitusi. Mahkamah Konstitusi mereview semua produk legislatif yang merupakan instrument hukum tertentu yang spesifik di lingkunan hukum dan politik. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat khusus dan ekslusif yang akan menimbulkan dampak/efek ke depannya. Lembaga ini khusus dibentuk dan terletak di luar badan peradilan biasa yang sepenuhnya independent dari cabang lain dan dari otoritas publik.”

A. PENDAHULUAN

Penafsiran konstitusi dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak terkecuali warga negara secara individu. Setiap lembaga negara memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran konstitusi dengan ruang lingkup kewenangan yang dimilikinya. Kedudukan lembaga negara adalah equal dan hal ini membuat penafsiran yang dilakukan oleh suatu lembaga negara hanya mengikat ke lembaga itu sendiri.

Penafsiran yang dilakukan oleh badan peradilan berbeda, karena kekuasaan yudisiil yang melekat dengannya membuat penafsirannya tentang konstitusi yang dituangkan dalam bentuk putusan, memiliki kekuatan mengikat. Dengan demikian badan yudisiil, dalam hal ini badan peradilan, diberi wewenang untuk mengawal dan menafsirkan konstitusi.

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah konstitusi (constitutional court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang-undang (judicial review) diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya mahkamah agung seperti di Amerika Serikat. Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.[1]

George Jellinek pada akhir abad ke-19 mengembangkan gagasan agar kewenangan judicial review tersebut diterapkan di Austria, seperti yang telah diterapkan oleh John Marshal di Amerika. Pada 1867, Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan menangani sengketa yuridis terkait dengan perlindungan hak-hak politik berhadapan dengan pemerintah. Pemikiran Kelsen yang telah diungkapkan di atas, mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama “Verfassungsgerichtshoft” atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model[2].

Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919 – 1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament). Mahkamah konstitusi ini melakukan pengujian baik terhadap norma-norma yang bersifat abstrak (abstract review) dan juga memungkinkan pengujian terhadap norma kongkrit (concrete review). Pengujian biasanya dilakukan secara “a posteriori”, meskipun tidak menutup kemungkinan dilakukan pengujian “a priori”.[3]

Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri terpisah dari Mahkamah Agung atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Agung. Namun, jika berdiri sendiri, lembaga itu sering disebut Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri.[4] Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Fungsi-fungsi yang dapat dibayangkan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusional seperti judicial review dalam rangka menguji konstitusionalitas suatu undang-undang, baik dalam arti formil ataupun dalam arti pengujian materiel, dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).[5]

Konstitusional/judicial review memiliki beraneka ragam model dan varian. Keanekaragaman tersebut dilihat dari fungsi sebagai “penjaga konstitusi” itu diberikan kepada lembaga khusus yaitu mahkamah konstitusi (constitutionsl court) atau dilekatkan pada lembaga peradilan biasa yang telah ada, mahkamah agung (supreme court) atau mungkin diberikan pada lembaga independen di luar cabang kekuasaan yudisiil. Konstitusional review diadopsi dan diperkenalkan dalam keadaan yang berbeda, tergantung sistem ketatanegaraan masing-masing negara.

Mahkamah Konstitusi memiliki beraneka ragam model dan varian. Adapun faktor pembeda yang menjadi variabel dalam keanekaragaman model dan varian bentuk suatu mahkamah konstitusi antara lain :

a. Kelembagaan/instansi, yang dimaksud adalah, Mahkamah Konstitusi sebagai organisasi yang memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi. Sebagai suatu organisasi tentu saja memiliki struktur organisasi dalam melaksanakan tupoksi organisasi tersebut. Sistem tertentu dapat diklasifikasikan dengan model yang umum struktur mahkamah konstitusional berdasarkan komponen berikut :

1 Komposisi hakim

· Jumlah hakim

· Pemilihan/pengangkatan, adalah sistem yang berlaku dalam pengajuan dan pengangkatan hakim konstitusi, serta penetapan pihak yang memiliki kewenangan untuk mengajukan calon hakim konstitusi.

· Masa jabatan hakim konstitusi, apakah ada perbadaan anatara ketua Mahkamah Konstitusi dengan anggota Mahkamah Konstitusi atau tidak.

· Persyaratan yang diperlukan hakim konstitusi, dalam hal ini juga kemungkinan adanya variable, yaitu persyaratan hakim konstitusi yang diajukan oleh masing-masing pihak memiliki pesyaratan khusus atau persyaratan dari pihak-pihak tersebut sama, tidak ada syarat tambahan atau syarat khusus.

· Kekebalan, hal ini sehubungan jabatannya sebagai hakim konstitusi dan status jabatannya tersebut dalam konstitusi.

2 Hukum acara, pada umumnya adalah sidang pleno dengan menetapkan kuorum hakim konstitusi dalam setiap sidang. Selain itu, mengatur pula tentang hukum acara tersendiri mulai dari pendaftaran berkas sampai putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi biasanya diambil berdasarkan permufakatan dengan berdasarkan “dissenting/concurring opinion

3 Organisasi, dalam hal ini, ditinjau dari struktur organisasinya. Suatu organisasi memiliki sekretariat yang menjalankan otonomi administrasi, menyusun dan melaksanakan anggaran, melakukan pelayanan administrasi serta pelayanan khusus. Tentu saja semua ini tidak dilakukan oleh hakim konstitusi melainkan staf di Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan kelembagaannya, dapat dibedakan model konstitusional/judisiil review sebagai berikut :

ð Model Amerika Serikat, “Judisiil review”, berdasarkan kasus “Marburry 1803 yang ditangani oleh “Supreme Court” Amerika Serikat dan adanya doktrin John Marshall, dimana permasalahan duan konstitusional menjadi wewenang badan peradilan biasa dan prinsip putusannya adalah deklaratur dan bersifat ex-tunc.

ð Model Persemakmuran Inggris, pengaduan konstitusional terkonsentrasi di bawah yurisdiksi supreme court yang terdiri dari beberapa hakim biasa tanpa nominasi politik. Pengujian lebih pada pengujian preventif meskipun dimungkinkan juga adanya pengujian represif. Putusan yang diambil bersifat erga omnes.

ð Model Austria, model Kelsen 1920, melibatkan supremasi konstitusi dan supremasi parlemen. Masalah konstitusional harus ditangani oleh lembaga khusus, yaitu Mahkamah Konstitusi, Arbitrase Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi yang memiliki kualifikasi khusus dalam penentuan hakim dan hukum acaranya. Putusannya bersifat erga omnes.

ð Model Perancis, conseil constitutionnel, memiliki karakter preventif, yaitu pengujian RUU yang akan disahkan bukan pengujian represif terhadap UU. Adapun pengujian represif di Perancis hanya untuk permasalahan pemilihan umum.

ð Tanpa sistem konstitusional/judisiil review.

ð Lembaga peradilan internasional yang memiliki fungsi konstitusional review.

ð Model Campuran, yaitu menggabungkan dari beberapa model yang ada dan disesuaikan dengan kondisi dan sistem ketatanegaraan yang dianutnya.

b. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusi, sebagai organ utama atau organ tambahan, serta kedudukannya dengan lembaga negara yang lain, apakah equal atau tidak.

c. Sifat dan prinsip mahkamah, hal ini merupakan dampak dari kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Model pranata judicial /constitutional review mempengaruhi sifat putusan dan dampak yang timbul akibat putusan tersebut. Adapun sifat dan prinsip mahkamah memiliki varian yang beragam, antara lain :

ð Finalitas;

ð Kekuatan mengikat, dalam hal ini terdapat 2 (dua) macam, yaitu : erga omnes dan inter partes;

ð Ex officio;

ð Pembatalan seluruhnya atau sebagian;

ð Konsekuensi putusan dan ganti rugi;

ð Inkonstitusional atau tidak sah atau tidak mengikat; atau

ð Bentuk lain putusan

Selain itu, mahkamah konstitusi harus mempublikasikan setiap putusannya melalui berita resmi, jurnal hukum, media elektronik atau bentuk lainnya.

d. Kewenangan

ð Kewenangan inti, yaitu “constitutional review” baik itu preventif maupun a posteriori review.

ð Kewenangan lain : pengaduan konstitusional, sengketa pemiihan umum, sengketa antar lembaga atau partai politik, atau lainnya yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh konstitusi.

Chili, adalah sebuah di Amerika Serikat yang sering mengalami konflik internal menyangkut permasalahan politik dan sosial. Namun, Chili memiliki sistem peradilan terbaik di Amerika Latin. Chili dengan Konstitusi 1925 telah memperkenalkan reformasi yang diarahkan pada depolitisasi dan pengembangan dari sistem peradilan yang memberikan jaminan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Namun, pada Konstitusi 1980 Pengadilan menjadi alat politik dalam proses pemerintahan junta militer Jenderal Augusto Pinochet, sehingga depolitisasi dan pengembangan dari sistem peradilan yang memberikan jaminan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman menjadi semu.

Dan tahun 2004, Chili mengamandemen Konstitusi 1980 menjadi Konstitusi 2004, dengan alasan Konstitusi 1980 tidak mencerminkan semangat demokrasi karena Konstitusi 1980 dibuat pada masa pemerintahan junta militer.

Bentuk negara Chili adalah kesatuan, yang terdiri dari 13 (tiga belas) daerah dengan 40 (empat puluh) propinsi yang dipimpin oleh gubernur yang ditunjuk oleh presiden. Chili menganut sistem desentralisasi dan merupakan Negara yang menganut sistem presidensiil dengan multi-partai.

Beberapa kondisi yang memiliki kesamaan dengan Indonesia inilah yang menjadi alasan dalam penulisan “PERBANDINGAN MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA DENGAN CHILI”. Pembahasan pun akan dibatasi dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Model dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

2. Model dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Chili.

B. PEMBAHASAN

1. Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Ide pembentukan mahkamah konstitusi yang merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan yang muncul pada abad ke-20 ini. Ide tersebut diadopsi pada amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001.

Mahkamah Konstitusi Indonesia, ditinjau dari aspek-aspek berikut ini :

a. Kelembagaan

Fungsi penjaga konstitusi diberikan kepada lembaga khusus di luar badan peradilan biasa dan independen tapi masih termasuk dalam badan cabang kekuasaan yudisiil yang diwujudkan dalam suatu bentuk mahkamah, yaitu Mahkamah Konstitusi. Kelembagaan Mahkamah Konstitusi mulai terbentuk pada tahun 2003 dengan disahkannya UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun, sebelum lembaga Mahkamah Konstitusi terbentuk maka semua fungsinya dilaksanakan sementara oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi sebagai kelembagaan dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu :

1. Komposisi Hakim

· Jumlah hakim : 9 hakim

· Pemilihan/pengangkatan :

- 3 orang diajukan oleh Mahkamah Agung;

- 3 orang diajukan oleh DPR;

- 3 orang diajukan oleh presiden.

Tidak ada pembedaan/diskriminasi, persyaratan yang tercantum pada pasal 16 UU Nomor 24 Tahun 2003 berlaku untuk semua calon yang diajukan baik itu hakim atau pun praktisi hukum.

Konfigurasi sumber rekrutmen hakim konstitusi dari tiga cabang kekuasaan negara tersebut mencerminkan keseimbangan dan keterwakilan tiga cabang kekuasaan negara (trias politica, yaitu : legislatif, eksekutif dan yudisiil) di dalam tubuh Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dan lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang memperkuat sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.

· Masa jabatan : 5 tahun

2. Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutuskan dalam sebuah sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembillan) hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh) hakim konstitusi. Adapun keadaan luar biasa ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.

3. Organisasi

Mahkamah Konstitusi, di luar hakim konstitusi, memiliki sekretariat dan kepaniteraan yang menjalankan otonomi administrasi, anggaran, layanan administrasi, layanan khusus seperti pusat informasi hukum, perpustakaan hukum dan penasehat hukum.

b. Kedudukan

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.

c. Sifat dan Prinsip Mahkamah

Putusan maupun pendapat Mahkamah adalah final, adapun sifat final yang terdapat pada pasal 10 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2003 merupakan pemberian opini dalam perbedaan pendapat. Hal ini berkaitan dengan fungsi utama dari Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan untuk menafsirkan UUD 1945 dan memastikan tidak adanya pelanggaran terhadap UUD 1945. Sedangkan untuk pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No. 24 Tahun 2003 dikarenakan dalam penyelesaiannya dibutuhkan waktu yang singkat. Hal ini dikarenakan kemanfaatan dari putusan tersebut yang dibatasi oleh waktu, yaitu 5 (lima) tahun setelah itu apapun putusannya tidak akan mempunyai kemanfaatan lagi.

Putusan tersebut harus dipublikasikan melalui berita resmi, jurnal hukum dan media elektronik. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat mengetahui dan mengakses putusan tersebut

d. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi Indonesia mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir pada putusannya yang bersifat final untuk :

1. Menguji UU terhadap UUD 1945;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai impeachment presiden/wakil presiden.

Berdasarkan 4 (empat) wewenang dan 1 (satu) kewajiban yang dimiliki tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution). Hal tersebut sesuai dengan dasar keberadaannya untuk menjaga pelaksanaan konstitusi. Fungsi tersebut membawa konsekuensi Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi lain, yaitu sebagai penafsir konstitusi yang bersifat final (the final interpreter of the constitution).

Selain itu, sesuai dengan materi muatan UUD 1945 yang meliputi aturan dasar kehidupan bernegara berdasarkan prinsip demokrasi dan jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi juga memiliki fungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy by protecting minority rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).[6]

2. Mahkamah Konstitusi di Chili

Chili, dalam sistem hukum dan peradilannya banyak terinspirasi hukum Romawi dan Spanyol, juga dari tradisi-tradisi Perancis, khususnya Kode Napoleon. Konstitusi Chili yang terbaru adalah Konstitusi 2004.

Namun, dikarenakan naskah Konstitusi 2004 masih belum dapat diperoleh, sehingga dalam perbandingan ini tidak memungkinkan untuk dapat dikaji, khususnya mengenai kekuasaan yudisiil, yaitu Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, Konstitusi 1980 digunakan sebagai dasar hukum dalam kajian Mahkamah Konstitusi Chili dalam perspektif perbandingan dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia.

Berdasarkan Konstitusi 1980, Mahkamah Konstitusi Chili memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Kelembagaan

Konstitusi 1980, kelembagaan Mahkamah Konstitusi mulai terbentuk. Mahkamah Konstitusi Chili sebagai kelembagaan dilihat dari 3 (tiga) aspek, yaitu :

1. Komposisi Hakim

· Jumlah hakim : 7 hakim

· Pemilihan/pengangkatan :

- 3 hakim dipilih dari Mahkamah Agung berdasarkan suara terbanyak;

- 1 praktisi hukum ditunjuk oleh presiden;

- 2 praktisi hukum ditunjuk Dewan Keamanan Nasional;

- 1 praktisi hukum ditunjuk oleh Senat.

Syarat untuk praktisi hukum:

- Memiliki kinerja yang sangat baik di dalam universitas ataupun suatu kegiatan umum

- Tidak memiliki halangan yang menyebabkan mereka tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya selaku hakim konstitusi

Syarat tambahan untuk praktisi hukum yang diusulkan oleh presiden dan senat adalah sebelumnya pernah aktif di dalam MA (bukan sebagai hakim) sedikitnya dalam jangka waktu 3 tahun berturut-turut.

· Masa jabatan : 8 tahun

2. Hukum Acara

Setiap sesi persidangan yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi harus memenuhi kuorum sedikitnya 5 hakim konstitusi dan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstiusi tidak dapat diajukan banding.

3. Organisasi

Sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, Mahkamah Konstitusi Chili juga memiliki sekretariat dan kepaniteraan yang menjalankan otonomi administrasi, anggaran, layanan administrasi, layanan khusus seperti pusat informasi hukum, perpustakaan hukum dan penasehat hukum.

b. Kedudukan

Kedudukan Mahkamah Konstitusi Chili, sama halnya dengan Mahkamah Konstitusi Indonesia, merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.

c. Sifat dan Prinsip Mahkamah

Putusan maupun pendapat Mahkamah adalah final, tidak dapat diganggu gugat dan mengikat semua lembaga. Putusan tersebut harus dipublikasikan melalui berita resmi.

d. Kewenangan

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Chili lebih banyak daripada Mahkamah Konstitusi Indonesia. Adapun kewenangannya (pasal 82 Konstitusi 1980) antara lain :

1. Melakukan pengawasan agar pembuatan UU yang dibuat oleh kongres tidak bertentangan dengan konstitusi;

2. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi di dalam pembuatan suatu UU ataupun di dalam proses amandemen UUD dan juga menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi atas segala perjanjian internasional yang perlu persetujuan oleh kongres;

3. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi di dalam segala penetapan atau pun putusan yang memiliki kekuatan hukum;

4. Menyelesaikan sengketa pemilihan umum, sehubungan dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh Elections Qualifying Court;

5. Menyelesaikan tuntutan yang timbul apabila presiden tidak mengeluarkan suatu peraturan dimana seharusnya peraturan tersebut dikeluarkan atau apabila presiden mengeluarkan suatu peraturan yang bertentangan dengan konstitusi;

6. Memutuskan (apabila diminta oleh presiden) mengenai persesuaian dengan pasal 88 Konstitusi 1980 tentang suatu putusan yang dikeluarkan oleh presiden tentang anggaran negara yang dinyatakan oleh comptroller general bertentangan dengan konstitusi;

7. Menyatakan apabila suatu organisasi, pergerakan atau partai politik dinyatakan bertentangan dengan konstitusi sesuai dengan pasal 8 Konstitusi Chile yaitu organisasi, pergerakan atau partai politik yang melakukan propaganda politik, melakukan tindakan kekerasan sehingga harus dibubarkan;

8. Menyatakan apabila seseorang dianggap bertanggung jawab atas tindakan yang bertentangan dengan perintah yang dikeluarkan oleh negara, apabila orang tersebut adalah Presiden Republik Chile, maka akan dibutuhkan persetujuan dari Senat;

9. Memberikan laporan kepada Senat sehubungan dengan kasus yang sedang ditangani oleh chambers of deputies mengenai dugaan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah;

10. Menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan konstitusi sehubungan dengan larangan bagi seseorang untuk ditunjuk sebagai Menteri Negara, ataupun apakah seorang Menteri Negara masih dapat menduduki jabatannya, serta dapat atau tidaknya Menteri Negara menjalankan fungsi di luar fungsi yang dimilikinya secara serentak atau berbarengan;

11. Menetapkan mengenai ketidakmampuan dan/atau tidak lagi memenuhi syarat serta alasan diberhentikannya anggota kongres;

12. Memutuskan bertentangan atau tidaknya putusan tertinggi yang dikeluarkan oleh presiden sehubungan dengan kewenangannya, dimana putusan tersebut dikeluarkan berdasarkan amanat dari konstitusi.

Mahkamah Konstitusi Chili hanya bisa melakukan pengujian dari RUU sebelum disahkan menjadi UU atau Perjanjian Internasional sebelum diratifikasi, hal ini serupa dengan kewenangan yang dimiliki oleh conseil constitutionnel di Perancis. Sedangkan untuk Perjanjian Internasional sudah diratufikasi atau RUU sebelum disahkan menjadi UU maka hak pengujian tidak lagi menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi melainkan Mahkamah Agung.

Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 18 April 2002 telah membuat putusan yang kontroversial, yaitu dalam perkara “Landmark case”. Mahkamah Konstitusi memutuskan Perjanjian Internasional mengenai Statuta Roma adalah inkonstitusional. Padahal Perjanjian Internasional tersebut telah diratifikasi oleh chambers of deputies pada tanggal 22 Januari 2002.

Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional Statuta Roma yang telah diratifikasi. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa berdasarkan konstitusi, kedaulatan terletak pada negara. Yurisdiksi dari ICC tidak bersifat atau berfungsi melengkapi dari peradilan Chili akan tetapi sifat dan fungsinya adalah substitusi dari peradilan Chili. Permohonan tersebut diajukan oleh oposisi sayap kanan yang tidak menginginkan Pinochet diadili di ICC.

Hal ini dikarenakan tidak berselang lama dari ratifikasi tersebut, Pinochet ditangkap di London dan diadili oleh ICC. Terlepas dari alasan tersebut, yang menjadi kontroversial adalah berdasarkan Konstitusi 1980, Mahkamah Konstitusi hanya memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perjanjian internasional adalah inkonstitusional apabila perjanjian internasional tersebut belum diratifikasi. Sedangkan Statuta Roma yang dinyatakan inkonstitusional tersebut, telah diratifikasi oleh chambers of deputies. Seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam masalah ini dan yang berwenang adalah Mahkamah Agung.

Peradilan Chili, sepanjang sejarahnya, sangat jarang dapat memisahkan antara permasalahan politik dan konstitusional. Ini pula lah yang menyebabkan perlunya amandemen Konstitusi 1980.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, pada dasarnya banyak terdapat kesamaan antara Indonesia dengan Chili dalam hal konstitusional review, yaitu dengan adanya sebuah Mahkamah Konstitusional. Mahkamah Konstitusional Indonesia dengan Chili, pada dasarnya memiliki beberapa kesamaan.

Perbedaan yang sangat signifikan terletak pada kewenangan Mahkamah Konstitusi Chili yang hanya bisa melakukan pengujian terhadap perjanjian internasional yang belum diratifikasi atau RUU sebelum disahkan menjadi UU. Hal ini serupa dengan kewenangan yang dimiliki oleh conseil constitutionnel di Perancis. Sedangkan pengujian perjanjian internasional yang telah diratifikasi atau UU merupakan kewenangan dari Mahkamah Agung.

Mahkamah Konstitusi Indonesia memiliki kewenangan konstitusional review dalam permasalahan pengujian UU yang dianggap inkonstitusional. Sedangkan Mahkamah Agung hanya memiliki kewenangan judicial review, yaitu untuk produk peraturan perundang-undangan di bawah UU dengan pembandingnya tentu saja UU.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

-----------------------. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

-----------------------. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta

Konstitusi Press. 2006

Kelsen, Hans. General Theory of Law and State. translated by: Anders Wedberg. New York: Russell & Russell, 1961.

Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. New Heaven and London: Yale University Press, 1999.

Makalah

Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.

Jakarta : Konstitusi Press

-----------------------. Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Republik Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.

Haberle, Peter. Role and Impact of Constitutional Courts in a Comparative

Perspective. Bayreuth

Peraturan perundang-undangan

UUD 1945

UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Constitution of Chile 1980


[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg, (New York: Russell & Russell, 1961), hal 157.

[2] Disebut juga dengan “the centralized system of judicial review”. Lihat Arend Lijphart, Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, (New Heaven and London: Yale University Press, 1999), hal. 225.

[3] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 28, 29, 64 – 66, 108 dan 109. Terhadap peran Kelsen dalam hal ini masih ada perbedaan pandangan antara mana yang lebih penting perannya antara Georg Jellinek dan Adolf Merkl atau Hans Kelsen. Lihat end note bagian pertama halaman 51 nomor 32.

[4] Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk lembaga ini dan merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuknya. Uraian lengkap mengenai MK di 78 negara dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhri, Mahkamah Konstitusi, Kompilasi Ketentuan Konstitusi, Undang-Undang dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Indonesia.

[5] Pembahasan secara komprehensif mengenai pengujian konstitusional dapat dibaca dalam Jimly Asshiddiqie, Model-model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

[6] Asshiddiqie, Jimly Gagasan Dasar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi., hal. 24.

Senin, 15 Februari 2010

Mie ayam ala cWiexz

Iseng2 nie biQn mie ayam, sapa taw ntar kl dah ada modal bs buka warung mie ayam :)
simple kok, kl maw cb silahkan aja...


mie ijo
225 gr tepung terigu
25 gr tepung sagu
50 gr bayam diblender ama 75 ml air
1 butir telur
3 sdm minyak sayur
garam secukupnya

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...