Minggu, 08 November 2009

ANALISIS YURIDIS KASUS PEMBUANGAN LIMBAH BATIK DI PEKALONGAN

Kasus:

Pencemaran Limbah Batik di Pekalongan Makin Parah

Jum'at, 4 Juli 2008 - 20:05 WIB | OkeZone.com |

PEKALONGAN - Memasuki musim kemarau kondisi sungai di Kota Pekalongan terancam pencemaran lebih parah oleh limbah batik. Pasalnya, limbah pengolahan batik dari industri besar maupun rumah tangga yang mengandung bahan kimia, mengendap di sungai sebab tak ada air yang mendorongnya ke laut.

Endapan limbah batik itu akan mengakibatkan air sungai menjadi berwarna kehitam-hitaman, serta memunculkan bau menyengat. Ketua DPRD setempat, Salahuddin, mengatakan, saat ini masih banyak industri batik rumah tangga dan perusahaan batik skala besar yang membuang limbah langsung ke sungai.

Pembuangan itu sudah dilakukan dalam waktu lama dan selama ini menjadikan air sungai tercemar. Jika musim hujan, barangkali pencemaran itu tidak begitu mengganggu karena limbah terdorong ke laut oleh gelontoran air hujan.

Namun jika kemarau seperti sekarang, dipastikan limbah itu akan membuat sungai semakin kotor dan berbau. Karena setiap hari terus ditumpahi limbah batik.

"Ini perlu segera ada tindakan dari dinas terkait, untuk mengantisipasinya," katanya, Jumat(4/7/2008).

Dinas terkait menurutnya perlu mengawasi tidak cuman industri batik rumah tangga yang membuang limbah ke sungai. Tapi juga industri besar yang sudah memiliki instalasi pengolah air limbah (IPAL). Perlu diawasi apakah IPAL itu difungsikan maksimal ataukah tidak. Karena dugaan sebagian masyarakat industri besar yang telah memiliki IPAL juga membuang limbah ke sungai.

Diakui, soal memberi sanksi atau tindakan bagi industri yang membuang limbah ke sungai adalah hal dilematis. Satu sisi peraturan larangan membuang ke sungai harus ditegakkan, tapi di sisi lain jika mereka diberi sanksi akan mematikan usahanya.

Berarti ratusan bahkan ribuan tenaga kerja akan menganggur. Serta trade mark daerah sebagai pusat batik di Indonesia akan hilang.

"Itu artinya mengancam daerah," ujarnya.

Salah satu yang mungkin bisa dilakukan adalah memperbanyak membangun IPAL bersama. Saat ini baru ada satu IPAL bersama di Kelurahan Jenggot. Dan hanya bisa menampung limbah sebanyak 400m3, dari 700m3 limbah yang dikeluarkan industri batik rumah tangga di wilayah tersebut per hari. Selebihnya bersama dengan industri di wilayah Kelurahan Kauman, Kramatsari, Kergon, Pabean, dan Pasirsari limbah dibuang ke sungai.

"Membangun IPAL memang perlu dana besar, termasuk untuk pemeliharannya. Tapi itu perlu, karena jika tidak industri batik akan menimbulkan efek negatif," jelas dia. (M Masrukhin Abduh/Sindo/hri)

Analisis :

Sebagian besar industri batik rumah tangga dan perusahaan batik di Pekalongan banyak yang membuang langsung limbahnya ke sungai. Padahal, menurut Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Pekalongan, limbah batik yang dibuang di sungai mengandung B3 termasuk warna dan memiliki kadar BOD dan COD yang tinggi. Hal ini dikarenakan penggunaan zat pewarna kimiawi dalam produksinya.

Dalam hal ini, pelaku usaha yang membuang limbahnya secara langsung ke sungai melanggar ketentuan PP Nomor 82 Tahun 1999, antara lain :

a. Pasal 37 yang mewajibkan pelaku usaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran air

b. Pasal 38 ayat (2) tentang syarat pembuangan limbah yang wajib dilakukan pelaku usaha dalam mendapatkan izinnya.

Selain itu, pelaku usaha tersebut juga telah melanggar pasal 43 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997. “Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)”

Delik lingkungan ini merupakan delik formal, dimana pembuktiannya lebih mudah yaitu jika terjadi kesesuaian prosedur pencemaran dengan yang diatur dalam pasal tersebut maka dapat dikatakan telah terjadi delik lingkungan. Dengan demikian, pelaku usaha telah melakukan delik lingkungan.

Identitas Pekalongan sebagai kota batik memang harus terus dipelihara demi menjaga kelestarian batik, namun hendaknya hal tersebut sampai mengorbankan sungai dan lingkungan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...