Rabu, 28 Juli 2010

KKNku....

Gara2 ga ikut kuliah pra-kkn smua jd ribet coz namaku tiba2 terhapus dari daftar mahasiswa yg ikut kkn alternatif. Otomatis 4 a few days ngendon di kampus all day long en rela dipimpong sana-sini plus "wejangan" dari dosen yang sok penting itu cm tuk konfirmasinya.

Fyiuh... Akhirnya...
meski aneh coz kmrn2 tu yg ada cm dipimpong en ndengerin "wejangan" tp pas H-1 deadline pengurusan izin daftar peserta kkn alternatif kembali spt sedia kala, dmn namaku msh bertengger dsn. Ya sudahlah...

Namun, konsekuensinya tak hanya itu krn pas seminar kmrn, dosen penguji dgn jelas mengatakan bahwa tak akan ada nilai A karenanya... Nasib... Nasib...
Abisnya bikin jadwal kok suka-suka, masak kuliahnya hari sabtu en yg parah lg pas hari jum'at libur lg... khan libur panjang ntu so pastilah segunung acara dah disiapkan tuk direalisasikan.

en hsl dr praktik pra profesi ada hal yg menarik, yaitu ttg permasalahan akibat hukum pencabutan dan penggantian peraturan dan ternyata dalam praktiknya di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Prop. Jatim tempatku magang lebih cenderung menggunakan surat edaran sbg juknisnya. Pegawai hanya mengetahui juknis tsb tanpa mengacu pada peraturan yang ada dan tak jarang pula juknis tersebut msh menggunakan peraturan yg telah dicabut, so untuk lbh jelasnya uraian permasalahannya sbb :

Smoga bermanfaat....


ANALISIS SURAT EDARAN DIREKTUR PKN

A. LATAR BELAKANG
Reformasi keuangan negara dalam rangka mewujudkan good governance membawa banyak perubahan, dan yang paling signifikan adalah perubahan di bidang akuntansi pemerintahan. Hal ini terkait dengan salah satu elemen dasar good governance, yaitu akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban kepada publik atas setiap kegiatan yang dilakukan.
Akuntabilitas sangat terkait dengan pelaporan. Content pelaporan, keakurasian angka-angka yang tertera di laporan keuangan dan dihasilkan oleh sistem akuntansi yang memadai dengan pengendalian yang baik akan sangat menentukan akuntabilitas pelaporan itu sendiri. Angka-angka yang memang mencerminkan transaksi, setiap peristiwa ekonomi yang mengakibatkan perubahan terhadap suatu entitas. Angka-angka yang mencerminkan kinerja sesungguhnya, angka–angka yang menggambarkan peristiwa sesungguhnya. Dengan demikian laporan keuangan menjadi transparan, relevan, reliabel dan tepat waktu sangat didambakan, yang sangat berguna untuk pemberantasan korupsi
Sejak merdeka Indonesia belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang baku. Dan hal ini menimbulkan perdebatan seperti tentang siapa yang berwenang menyusun standar akuntansi keuangan pemerintahan dan bagaimana bentuk/format laporan. terjadi dikarenakan belum adanya standar akuntansi pemerintahan yang baku. Perubahan yang paling diharapkan adalah adanya standar akuntansi pemerintahan karena akuntansi pemerintahan pada saat itu belum berperan sebagai alat untuk meningkatkan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Pelaporan keuangan dan akuntansi pemerintahan sering tidak akurat, terlambat dan tidak informatif sehingga tidak dapat diandalkan dalam pengambilan keputusan.
Akhirnya dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) selain untuk mewujudkan good governance juga merupakan jawaban atas penantian adanya pedoman pelaporan keuangan yang dapat diterima secara umum seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Peraturan Pemerintah ini menjadi dasar bagi semua entitas pelaporan dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada berbagai pihak khususnya pihak-pihak di luar eksekutif karena PP 24 tahun 2005 menegaskan bahwa set laporan keuangan pemerintahan terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dengan demikian paket laporan keuangan pemerintahan tersebut harus disusun berdasarkan sistem akuntansi yang mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan. Dengan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan maka diharapkan laporan keuangan pemerintahan akan dapat diperbandingkan, sehingga sangat berguna untuk penilaian kinerja pemerintah.
Standar akuntansi berguna bagi penyusun laporan keuangan dalam menentukan informasi yang harus disajikan kepada pihak-pihak di luar organisasi. Para pengguna laporan keuangan di luar organisasi akan dapat memahami informasi yang disajikan jika disajikan dengan kriteria/persepsi yang dipahami secara sama dengan penyusun laporan keuangan dan auditor, khususnya eksternal auditor, standar akuntansi digunakan sebagai kriteria dalam menilai informasi yang disajikan apakah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dengan demikian SAP menjadi pedoman untuk menyatukan persepsi antara penyusun, pengguna, dan auditor.
Penerapan PP 24 tahun 2005, SAP dengan cash toward accrual. Namun pemberlakuan accrual accounting baru dilakukan tahun 2008. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaannya dibutuhkan waktu cukup panjang untuk menghasilkan laporan keuangan yang akuntabel. Adapun permasalahan-permasalahan yang timbul antara lain kesiapan sumberdaya manusia yang masih minim memahami akuntansi pemerintahan dan kendala dalam melakukan penilaian asset pemerintah dalam menentukan neraca awal karena administrasi asset yang kurang baik.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Standar Akuntansi Pemerintah menjadi payung hukum dan sekaligus pedoman bagi setiap instansi pemerintah dalam pembuatan laporan keuangan. Dalam melaksanakannya, pada tahun 2005, Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Peraturan Menteri keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 dalam konsideran mengingat menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 sebagai salah satu dasarnya.
Pada tahun 2006, Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Nomor : PER-66/PB/2006 tentang Pedoman Rekonsiliasi dan Analisa , dan Penyusunan Laporan Keuangan Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk pedoman teknisnya. Peraturan ini dalam konsideran menimbang dan mengingat menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 sebagai salah satu dasarnya.
Seiring waktu, untuk menyempurnakan pelaksanaan pelaporan cash accrual seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004, pada tahun 2007 dikeluarkanlah Peraturan menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar yang dalam ketentuan penutupnya menyatakan mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar. Dan tidak berselang lama dikeluarkan pula Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Dalam ketentuan penutup, disebutkan bahwa peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2008. Peraturan Menteri keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 ini dalam salah satu konsideran mengingatnya sudah menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 dalam penggunaan akun di Laporan Keuangan Pemerintah.
Namun, untuk pelaksanaan teknisnya dalam rekonsiliasi dan penyusunan laporan masih menggunakan Peraturan Direktur Jenderal Nomor : PER-66/PB/2006. Hal ini menimbulkan sedikit permasalahan dalam kegiatan analisa laporan keuangan, karena dalam Peraturan Direktur Jenderal Nomor : PER-66/PB/2006 masih menggunakan Bagan Perkiraan Standar sedangkan setelah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 laporan keuangan telah dan diharuskan menggunakan Bagan Akun Standar.
Dan yang lebih mengejutkan, setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007, Direktur Pengelolaan Kas Negara mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada seluruh jajaran Kantor Wilayah Direktorat Perbendaharaan (Kanwil Ditjen Perbendahaaran) dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang isinya tentang penggunaan akun dimana akun tersebut merupakan Bagan Perkiraan Standar dan tidak sesuai dengan Bagan Akun Standar.
Surat edaran ini dikeluarkan sebagai usaha direktorat Pengelolaan Kas Negara menanggapi pertanyaan beberapa Kanwil dan KPPN yang mempertanyakan tentang penggunaan mata anggaran pada Bagan Akuntansi Standar yang terdapat kerancuan dalam penerapannya diakibatkan adanya perbedaan interpretasi sehingga dibutuhkan opini hukum tentang hal tersebut. Direktorat Pengelolaan Kas Negara juga beralasan bahwa masih digunakannya Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor : PER-66/PB/2006, dimana dalam peraturan tersebut masih menggunakan Bagan Perkiraan Standar.
Keberadaan surat edaran ini mengakibatkan adanya selisih dalam Laporan Keuangan Pemerintah yang dibuat dan dari pihak Kanwil Ditjen Perbendaharaan hanya memberikan penjelasan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah dalam rekomendasinya sebagai solusinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah dirumuskan sebagai berikut :
1. Akibat hukum pencabutan peraturan perundang-undangan.
2. Kedudukan surat edaran.
C. KAJIAN NORMATIF
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar.
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar.
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
8. Peraturan Direktur Perbendaharaan Nomor : PER-66/PB/2006 tentang Pedoman Rekonsiliasi dan Analisa , dan Penyusunan Laporan Keuangan Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

D. PEMBAHASAN
PENCABUTAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengertian pencabutan peraturan perundang-undangan adalah berbeda dengan pengertian perubahan peraturan perundang-undangan, sehingga pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan perundang-undangan.[1] Pencabutan terhadap peraturan perundang-undangan secara teori terdapat 2 (dua) cara yaitu pencabutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang membentuknya berdasarkan pada prosedur yang berlaku dan melalui peraturan perundang-undangan yang sejenis atau yang lebih tinggi. Adapun ketentuan pencabutan ada 2 (dua) yaitu :
a. Pencabutan dengan penggantian.
Pencabutan dengan penggantian dilakukan apabila peraturan perundang-undangan yang ada akan digantikan dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Ketentuan pencabutan dengan penggantian ada 2 (dua) macam.
Pertama, ketentuan pencabutan diletakkan di depan (dalam Pembukaan). Konsekuensi dari ketentuan pencabutan ini adalah pencabutan peraturan perundang-undangan yang dimaksud sampai ke akar-akarnya. Dengan demikian, peraturan yang dimaksud beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Kedua, ketentuan pencabutan diletakkan di belakang (dalam ketentuan penutup). Konsekuensinya adalah pencabutan hanya berlaku pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud itu saja, sedangkan untuk peraturan pelaksanaannya masih dapat dinyatakan berlaku.
b. Pencabutan tanpa penggantian.
Pencabutan tanpa penggantian memiliki kerangka yang sama dengan peraturan perundang-undangan, hanya saja dalam hal ini hanya terdapat 2 (dua) pasal saja, dimana Pasal 1 berisi tentang ketentuan pencabutan dan Pasal 2 berisi tentang ketentuan mulai berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut.
AKIBAT HUKUM PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 171/PMK.06/2007 TERHADAP PERATURAN DIRJEN PERBENDAHARAAN NOMOR : PER-66/PB/2006
1. Peraturan Menteri Keuangan
Kementerian yang diperbolehkan mengeluarkan produk peraturan hanya kementerian yang membawahi tugas-tugas publik dalam lingkungan departemen. Hal ini dikarenakan sifat tugasnya yang langsung berhubungan dengan kepentingan publik. Menteri yang memimpin departemen diperbolehkan mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri dengan tujuan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Eksistensi peraturan menteri diakui berdasarkan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang kedudukannya satu tingkat lebih rendah dari peraturan presiden.
2. Peraturan Dirjen Perbendaharaan
Direktorat Jenderal merupakan unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Direktur Jenderal (Dirjen) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen Republik Indonesia diberi kewenangan untuk mengeluarkan peraturan yang bersifat umum. Kewenangan ini timbul untuk melaksanakan lebih lanjut kebijaksanaan dari menterinya yang merupakan delegasian.
Peraturan Dirjen merupakan peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran dari peraturan menteri. Dengan demikian peraturan dirjen merupakan peraturan yang bersifat teknis.
3. Keberlakuan Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor : PER-66/PB/2006 setelah dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 dalam ketentuan penutupnya, Pasal 6 menyatakan mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005. Dengan demikian Peraturan Menteri Keuangan Nomo 13/PMK.06/2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun untuk peraturan pelaksanaannya masih dapat dinyatakan berlaku dan dapat digunakan senyampang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 dalam ketentuan penutupnya, Pasal 76 menyatakan mencabut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005. Dengan demikian Peraturan Menteri Keuangan Nomo 59/PMK.06/2005 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dikeranakan pencabutan dan penggantian Peraturan Menteri Keuangan Keuangan Nomor 13/PMK.06/2005 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 dan Peratuan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 menggunakan teori pencabutan dan penggantian yang kedua, dimana ketentuan pencabutan diletakkan di belakang (dalam ketentuan penutup, yaitu Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 dan Pasal 76 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007) maka konsekuensinya adalah pencabutan hanya berlaku pada peraturan perundang-undangan yang dimaksud itu saja, sedangkan untuk peraturan pelaksanaannya masih dapat dinyatakan berlaku. Dengan demikian Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor : PER-66/PB/2006 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 masih dapat dinyatakan berlaku selama belum dilakukan pencabutan. Dan masih dapat digunakan tentu saja dengan ketentuan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.06/2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007.


SURAT EDARAN
Surat edaran merupakan salah satu dari peraturan kebijaksanaan (beleidsregels). Peraturan kebijaksanaan dapat disebut juga sebagai peraturan. Namun dasar kewenangannya hanya bertumpu pada aspek ‘doelmatigheid’ dalam rangka prinsip ‘freis ermessen’ atau ‘beoordelingsvrijheid’, yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum.
‘Freis ermessen’ merupakan salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. ‘Freis ermessen’ diberikan kepada pemerintah karena fungsi pemerintah atau administrasi negara adalah menyelenggarakan kesejahteraan umum, berbeda dengan fungsi yudisial yang berfungsi menyelesaikan sengketa. Keputusan yang diambil oleh pemerintah lebih mengutamakan pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum (rechmatigheid).
Meskipun pemberian ‘freis ermessen’ kepada pemerintah atau administrasi negara merupakan konsekuensi logis dari konsep welfare state, tetapi dalam kerangka negara hukum freies ermessen ini tidak dapat digunakan tanpa batas. Atas dasar itu, Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur ‘freis ermessen’ dalam suatu negara hukum, yaitu:
a) ditujukan untuk melaksanakan tugas servis publik;
b) merupakan tindakan yang aktif dari administrasi negara;
c) tindakan tersebut dimungkinkan oleh hukum;
d) tindakan tersebut diambil atas inisiatif sendiri;
e) tindakan tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan penting yang secara tiba-tiba;
f) sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.
‘Freis ermessen’ muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan asas legalitas. Untuk negara welfare state, asas legalitas saja tidak cukup untuk dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. ‘Freis ermessen’ dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut :
a) Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian secara kongkret atas suatu masalah, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera;
b) Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparat pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya;
c) Aparat pemerintah tersebut diberi kewenangan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya merupakan kewenangan aparat yang lebih tinggi tingkatannya.
Surat edaran merupakan perwujudan dari ‘freis ermessen’ yang dikeluarkan oleh badan/pejabat Tata Usaha Negara dalam bentuk tertulis. Isi peraturan kebijaksanaan ini dimaksudkan untuk menindaklanjuti peraturan umum, karena sesungguhnya badan/pejabat TUN yang mengeluarkan kebijakan sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk membuat peraturan umum. Dan surat edaran sebagai contoh beleidsregels dapat dikeluarkan disebabkan oleh :
· karena situasi konkrit;
· karena adanya peraturan yang tidak jelas yang butuh untuk ditafsirkan.
Kedudukan Surat Edaran Direktur Pengelolaan Kas Negara tentang penggunaan akun yang bertentangan dengan Bagan Akun Standar.
Surat Edaran sebagai contoh beleidsregels dapat dikeluarkan dengan alasan situasi konkrit dan adanya peraturan yang tidak jelas yang butuh untuk ditafsirkan. Dengan melihat alasan dikeluarkannya beleidsregels, dapat dikatakan bahwa surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktur Pengelolaan Kas Negara tidak tepat.
Hal ini dikarenakan surat edaran tersebut tidak dikeluarkan atas dasar situasi, karena tidak ada situasi konkrit apapun sampai saat ini yang mendesak Direktur Pengelolaan Kas Negara untuk mengeluarkan suatu surat edaran, dan surat edaran yang dikeluarkan tersebut bukan merupakan penafsiran dari peraturan yang tidak jelas, tetapi malah menciptakan suatu norma baru berupa penggunaan akun yang tidak sesuai dengan Bagan Akun Standar, yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007. Selain itu, dengan mengingat sifat dari beleidsregels yang tidak memaksa/mengikat maka keberadaan surat edaran ini juga tidak memiliki kekuatan hukum.
Berdasarkan uaraian di atas maka dalam hal rekonsiliasi, analisa dan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintahan Pusat, Kanwil Ditjen Perbendaharaan harus tetap tunduk pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar.

E. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu :
1. Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor : PER-66/PB/2006 tentang Pedoman Rekonsiliasi dan Analisa, dan Penyusunan Laporan Keuangan Tingkat Kuasa Bendahara Umum Negara Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang merupakan pedoman teknis dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2005 masih dapat dinyatakan berlaku selama belum dilakukan pencabutan dan masih dapat digunakan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar.
2. Surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktur Pengelolaan Kas Negara dalam penggunaan akun yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar adalah tidak tepat dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, selain dikarenakan bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar, surat edaran merupakan peraturan kebijaksanaan (beleidsregels) yang sifatnya tidak memaksa/mengikat.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, 2000, ‘Penataan Kembali Bentuk dan Susunan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia’, Seminar Nasional Perubahan Kedua UUD 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 24-26 Maret. Bandar Lampung.
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ridwan HR. 2006, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Indrati S. Maria Farida, 2007, Ilmu Perundang-undangan Jilid 1, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
--------------- , 2007, Ilmu Perundang-undangan Jilid 2, Yogyakarta : Penerbit Kanisius


[1] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan Jilid 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2007, hal. 47



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...