Jumat, 07 Januari 2011

PEMAJUAN DAN PENEGAKAN HAM NASIONAL

A.    Pendahuluan
Supremasi hukum yang berkeadilan saat ini masih sangat lemah, terdapat jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya.  Pelanggaran hak asasi masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat umum lainnya.  Sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi masa lalu hamper sepuluh tahun terakhir ini.
Budaya impunitas terus menjangkiti sistem hukum dikhawatirkan akan terus memproduksi budaya kekerasan maupun menghancurkan sistem demokrasi yang sudah ada.  Warisan pola feodalistik dan militeristik dalam institusi masih kuat mengakar. Reformasi pun belum menyentuh reformasi kultural dan belum melembaga.
Berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia.  Kedua, karena monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi manusia.  Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri  atau diganggu oleh pemerintah.
Hal ini tampak dari kenyataan yang meletakkan rakyat sekedar sebagai ‘clients’, yang tersubordinasi.  Rakyat menjadi objek kegiatan akibatnya rakyat harus mengorbankan hak mengartikulasi kepentingan secara otonom sehingga tak dapat mengakses sumber-sumber daya publik.  Lembaga-lembaga negara maupun masyarakat tak mampu menawarkan pelayanan publik dalam memoderatkan, moderasi/mediasi konflik-konflik politik, dan refining political demands.
Pelanggaran hak-hak asasi manusia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan peta rezim politik yang berkuasa.  Namun hal tersebut tidak mengabaikan tentang tanggung jawab negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasional memberikan dampak besar bagi Indonesia.  Seakan tidak ingin tertinggal dengan negara-negara lain, Indonesia dengan cepat membuat sarana perlindungan hak asasi manusia, seperti membentuk lembaga peradilan dan lembaga non-peradilan di samping serangkaian proses legislasi yang telah dilakukan.  Meskipun demikian, sarana perlindungan hak asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga non-peradilan saja, tetapi harus lintas departemen, dan menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali supaya permasalahan pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif, koordinatif dan strategis sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme penyelesaian masalah-masalah penegakan hak asasi manusia.  Dalam tulisan berikut, masalah dirumuskan menjadi  :
1.      Sarana perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
2.      Lembaga Nasional hak asasi manusia dalam pemajukan dan penegakan HAM Nasional.


B.     Sarana Perlindungan HAM
Perlindungan hukum bagi rakyat, menurut Hadjon, dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perlindungan preventif dan perlindungan represif.  Perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif, yang sifatnya mencegah sengketa.  Adanya perlindungan hukum yang preventif tentunya akan mendorong pemerintah untuk bersikap lebih berhati-hati dalam mengambil  keputusan yang didasarkan pada diskresi.[1]  Sedangkan untuk perlindungan hukum yang represif adalah berdasarkan penyelesaian suatu sengketa, dimana terdapat keragaman dalam berbagai sistem hukum di dunia ini. Misalnya, negara-negara dengan “civil law system” mengakui adanya dua set pengadilan, yaitu pengadilan umum (biasa) dan pengadilan administrasi; sedangkan negara-negara dengan “common law system”, hanya mengenal satu set pengadilan, yaitu “ordinary court”.  Di samping kedua sistem tersebut, negara-negara Skandinavia telah mengembangkan sendiri suatu lembaga perlindungan hukum bagi rakyat yang dikenal dengan nama “Ombudsman”.[2]
Sistem hukum di Indonesia dalam konteksnya dengan hak-hak asasi manusia, mengenal adanya lembaga-lembaga yang menjadi sarana perlindungan hak-hak masyarakat.  Lembaga tersebut memiliki kewajiban dalam memberikan sarana perlindungan hukum baik dilakukan oleh lembaga peradilan (judicial system) dan lembaga non-peradilan (non-judicial system).
Lembaga peradilan memiliki yurisdiksi untuk menangani persoalan hak-hak  asasi manusia, khususnya terhadap pelanggaran HAM berat.  Lembaga peradilan ini dilakukan oleh Pengadilan HAM.  Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum, dan khusus hanya menangani persoalan pelanggaran HAM berat (kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan).[3]  Selain persoalan hak-hak asasi manusia di luar pelanggaran HAM berat, dikategorikan sebagai tindak kriminal sehingga penyelesaiannya melalui proses peradilan umum dan dalam perspektif perlindungan publik  atas kebijakan atau keputusan administratif pemerintah, perlindungan hak asasi manusia penyelesaiannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Selain lembaga peradilan, dibentuk pula lembaga nasional HAM sebagai lembaga non-peradilan untuk melakukan upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.  Nasional.  Kelembagaan non-peradilan yang juga terkait langsung dengan upaya perlindungan hak asasi manusia secara koordinatif membangun komunikasinya dengan lembaga atau departemen pemerintah lainnya, termasuk institusi kepolisian dan TNI.

C.    Lembaga Nasional HAM
Sejarah dan landasan moral hak asasi manusia menuntut adanya peran Negara dalam perlindungan dan pemajuan hak asasi  manusia. Komitmen Negara tersebut kemudian diwujudkan dengan pembentukan lembaga yang khusus menangani hak asasi manusia.  Lembaga demokratis yang memiliki perhatian khusus dalam pemajuan hak asasi manusia disebut sebagai lembaga nasional hak asasi manusia.  Pembicaraan mengenai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia makin terfokus sekitar tahun 1960-n dan 1970-an.[4]  Sejak saat itulah kemudian dirasa perlu untuk membentuk standar internasional pembentukan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia.
Secara umum, konsep lembaga hak asasi manusia adalah lembaga yang berfungsi secara khusus dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.  Sebagian besar lembaga nasional hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi dua kategori besar yaitu Komisi Hak Asasi Manusia dan  Ombudsman.  Adapun Lembaga yang Khusus menagani kelompok rentan dalam hal  ini perempuan, anak, masyarakat adat dan penduduk asli juga dapat digologkan ke dalam kelompok Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia.
Prinsip-prinsip berkenaan dengan status dan fungsi lembaga nasional untuk melindungi dan memajukan HAM dikenal dengan Prinsip Paris bahwa komisi hak asasi manusia di tingkat nasional  suatu Negara mempunyai kewenangan yang jelas dan khusus.[5]  Prinsip Paris ini kemudian menjabarkan peran, bentuk dan fungsi lembaga nasional hak asasi manusia menjadi beberapa bagian yaitu; kewenangan dan pertanggungjawaban; komposisi dan jaminan kemandirian; metode operasi; prinsip tambahan tentang status dengan kewenangan kuasi hukum.
Penjabaran lebih lengkap dalam Prinsip Paris ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan elemen dan dasar menilai efektifitas dan efisiensi kerja dari sebuah lembaga nasional hak asasi manusia baik itu komisi hak asasi, ombudsman maupun lembaga khusus.
Lembaga nasional hak asasi manusia dapat diniliai efisiensi dan layak atau tidaknya keberadaan mereka dari efektifitas mereka dalam melakukan fungsi dan tugasnya.  Kelayakan dapat dievaluasi dengan melihat sejauh mana struktur suatu lembaga nasional memperhitungkan kondisi dan keadaan nasional termasuk kenyataan politik, budaya dan ekonomi.  Sebaliknya efektivitas hanya dapat diukur dengan melihat sejauh mana suatu lembaga nasional secara positif mempengaruhi keadaan hak asasi manusia dindividu dan kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat.  Kelayakan merupakan persyaratan bagi efektifitas.[6]  Penentuan efektifitas tersebut dilakukan dengan menerapkan faktor-faktor yang secara umum seperti independensi; yurisdiksi yang tegas dan wewenang yang memadai; kemudahan untuk diakses; kerjasama; efesiensi operasional dan pertanggung jawaban.[7]

Lembaga Nasional HAM
1.      Komnas HAM
(a)    Sejarah
Komisi Hak Asasi Manusia bersifat mandiri dimana keanggotannya terdiri dari individu yang memiliki keragaman latar belakang.  Salah satu fungsi penting dari Komisi ini adalah menerima dan memeriksa pengaduan dari perseorangan dan kadang-kadang dari kelompok mengenai dugaan penyalahgunaan hak asasi manusia yang dilakukan sebagai pelanggaran dari hukum nasional yang ada.[8]
Komisi ini juga memiliki fungsi untuk secara sistematik meninjau kembali kebijakan pemerintah di bidang hak asasi manusia untuk menilai hasil-hasil penataan hak asasi manusia dan menyarankan langkah-langkah perbaikan.  Selain itu juga memantau Negara atas pelaksanaan hukum-hukumnya sendiri begitupun halnya dengan hukum hak asasi manusia internasional bila perlu memberikan rekomendasi-rekomendasi agar terciptanya sebuah perubahan. Indonesia memiki komisi hak asasi manusia yang dikenal dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Komnas HAM dibentuk melalui Keppres No. 50 Tahun 1993. Ia dibentuk dalam konteks politik dalam negeri dan internasional yang memberi perhatian serius terhadap persoalan hak asasi manusia.  Faktor yang mempengaruhi terbentuknya Komnas HAM adalah adanya tekanan internasional (Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Jeneva) maupun nasional (berbagai organisasi non pemerintah, fragmentasi di kalangan elit) dan peristiwa Santa Cruz di Timor Leste.
Pembentukan Komnas HAM dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi tekanan politik tersebut serta memberi citra positif pada rezim maupun pribadi Soeharto, tidak heran jika kemudian pembentukan itu menuai berbagai keraguan akan kapasitas Komnas HAM mempromosikan hak asasi manusia.  Kenyataannya tingkat pelanggaran hak asasi manusia saat itu masih sangat tinggi. meskipun demikian Komnas HAM telah menunjukkan upaya menjaga kemandirian dari intervensi pemerintah.
Dua tahun setelah pemerintahan Soeharto jatuh, dasar hukum Komnas HAM diganti dengan peraturan perundang-undangan yang lebih kuat, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang ini juga memberi wewenang yang lebih kuat pada lembaga tersebut.
(b)   Tugas dan Fungsi
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Komnas HAM memiliki mandat untuk:
a.         mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia, baik yang ada dalam perangkat hukum nasional maupun Deklarasi Universal Hak Asasi dan Piagam PBB (yang dalam Pasal 55 dan 56 menunjuk pada DUHAM sebagai basis pemajuan hak asasi;
b.         meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan;
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melakukan empat (4) fungsi pokok, yaitu :[9]
a.  Pemantauan.
b.  Penelitian/pengkajian.
c.  Mediasi.
d.  Pendidikan.
Sejak itu pelaksanaan empat fungsi tersebut dibagi dalam 4 sub komisi yaitu Sub Komisi Pemantauan, Sub Komisi Penyuluhan, Sub Komisi Pengkajian/Penelitian dan Sub Komisi Mediasi. Dalam hubungan keluar Komnas HAM bertindak sebagai satu kesatuan dan anggota sub komisi dapat bertugas di sub komisi yang lain.
Berdasarkan ketentuan itu, Komnas HAM tidak memiliki kewenangan melakukan upaya penegakkan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berupa penyelidikan, penyidikan atau penuntutan.  Namun kemudian pemerintah mengeluarkan UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM yang dalam salah satu pasalnya memberi kewenangan baru kepada Komnas HAM, yakni sebagai penyelidik terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat.  Hal ini dikarenakan pemerintah menyadari akan pentingnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM.
Kewenangan Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dalam praktek banyak menimbulkan ketidakpuasan publik karena banyak kasus pelanggaran HAM yang berujung pada ketidakpastian hukum.  Kasus-kasus pelanggaran HAM seperti Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, perkara kerusuhan Mei, serta perkara Aceh dan Papua, yang telah selesai diselidiki Komnas HAM, sampai saat ini belum satu pun yang ditindakianjuti oleh Jaksa Agung sebagai aparatur yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan.  Hal ini jelas memberi kesan bahwa Komnas HAM ibarat “macan ompong” karena meskipun diberi wewenang ubtuk menyelidiki namun selain nasib dari hasil penyelidikannya akan sangat bergantung pada political will Jaksa Agung, Komnas HAM tidak memiliki upaya lain ketika hasil kerjanya tidak ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung.
Tampaknya memang kewenangan Komnas HAM untuk menyelidiki dan memeriksa berbagai peristiwa yang diduga mengandung pelanggaran hak asasi manusia terbatas pada pemberian rekomendasi.  Komnas HAM tidak dapat memaksa ketika rekomendasi tidak diindahkan oleh pihak-pihak yang berkaitan.  Keadaan tersebut menunjukkan bahwa sikap-sikap tersebut mencerminkan masih bercokolnya kultur atau kebijakan rezim lama yang menutup diri atas koreksi masyakarat.  Sikap-sikap yang bertolak belakang dengan dinamika masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya kesadaran warga akan hak-haknya dan yang menuntut terwujudnya demokratisasi dan rasa keadilan.
Penempatan Jaksa Agung sebagai satu-satunya institusi yang berwenang menyidik dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM berat mengakibatkan 'terbonsainya' kewenangan Komnas HAM yang hanya berwenang melakukan penyelidikan.  Sehingga sangat sulit mengharapkan Komnas HAM akan mampu berperan secara maksimal dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat bahkan sekedar untuk menetapkan status “tersangka” dalam suatu kasus pelanggaran HAM berat.
Keterbatasan kewenangan yang dimiliki Komnas HAM inilah yang menjadi salah satu penyebab mandegnya proses penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagai salah satu agenda prioritas reformasi di bidang hukum.
Agenda prioritas lain yang juga sangat mendesak dilaksanakan dalam mereformasi hukum adalah perbaikan lembaga peradilan.  Upaya ini mutlak dilakukan mengingat jalannya law enforcement khususnya pelanggaran HAM dan korupsi tidak hanya ditentukan oleh keseriusan aparatur penegak hukum dalam mengusut kasus-kasus tersebut melalui tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, tapi juga sangat tergantung pada sejauh mana lembaga peradilan yang diberikan kewenangan untuk itu benar-benar menjaga independensinya dalam melaksanakan due process of law.
Upaya untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan agar tetap independen dan tidak memihak (imparsial) dalam memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM perlu terus dilakukan.
Salah satu langkah legal yang dapat dilakukan adalah memberi alat pemaksa bagi Komnas HAM termasuk pemberian sanksi bagi instansi yang tidak melaksanakan rekomendasinya.  Hak menggugat di hadapan pengadilan kiranya dapat menjadi pilihan bagi Komnas HAM dalam menghadapi berbagai instansi bersangkutan yang tidak bersedia melaksanakan rekomendasi Komnas HAM dimaksud.  Kemungkinan yang lain untuk memperkuat kinerja anggota dan seluruh staf pendukungnya adalah dengan pemberian imunitas pada saat mereka menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan  prinsip “itikad baik” (good faith).[10]

2.      Ombudsman
(a)    Sejarah
Obudsman memiliki fungsi melindungi individu yang merasa menjadi korban perlakuan yang tidak adil. Dan secara umum fungsi utama dari ombudsman adalah menjamin keadilan dan legalitas dalam administrasi publik.  Aktivitas atau jenis kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Ombudsman adalah menerima pengaduan dan melakukan penyelidikan terhadap kasus yang kemudian mereka tangani, selain itu mereka juga berhak memberikan ekomendasi kepada pemerintah atau pihak bertikai lainnya berdasarkan hasil penyelidikan dari kasus yang mereka tangani.
Meskipun secara umum fokus dari Ombdusman adalah pengaduan individual, namun tidak menutup kemungkinan terhadap aktivitas lain yang lebih luas mengenai perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia.  Proses pendirian Ombudsman di Indonesia terjadi pada tahun 2000, tepatnya pada 20 Maret 2002 Komisi Ombusman Indonesia berdiri dengan dasar hukum Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000.[11]
UU No. 37 Tahun 2008 menggantikan Keppres No. 44 Tahun 2000 menjadi landasan hukum Komisi Ombudsman Nasional.  Dengan berlakunya UU No. 37 Tahun 2008 maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.  Perubahan nama tersebut berarti bahwa ombudsman tidak lagi berbentuk komisi negara yang bersifat sementara melainkan merupakan lembaga negara yang permanen dan setara/sejajar/equal dengan lembaga negara lainnya sehingga keberadaannya dapat menjadi benar-benar independen.
(b)   Tugas dan Fungsi
Ombudsman, berdasarkan UU ORI tidak lagi dengan 2 (dua) tujuan melainkan berkembang menjadi 5 (lima) yaitu :
a.       Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil dan sejahtera;
b.      Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;
c.       Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman dan kesejahteraan yang semakin baik;
d.      Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek maladministrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi serta nepotisme;
e.       Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum masyarakat dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran serta keadilan.[12]
Untuk mencapai tujuan tersebut, ombudsman memilik tugas antara lain :
a.          Menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan publik;
b.          Melakukan pemeriksaan substansi atas laporan;
c.          Menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman;
d.         Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e.          Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan atau perseorangan;
f.           Membangun jaringan kerja;
g.          Melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan publik;
h.          Melakukan tugas lain yang diberikan oleh UU.[13]
Berdasarkan uraian di atas, maka ombudsman dapat mengklasifikasikan pekerjaannya menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu perbaikan pelayanan publik, pemberantasan dan pencegahan korupsi dan bagian dari upaya pengembangan sistem penyelesaian di luar pengadilan.  Untuk mengantisipasi konsekuensi tersebut maka sangat diperlukan sistem penanganan keluhan yang lebih profesional serta integritas dan ketrampilan yang sangat tinggi dari staf pelaksana sehingga menghasilkan rekomendasi yang akurat dan disegani yang tidak dapat digugat di pengadilan.
Pengaturan ombudsman dalam UU tidak hanya mengandung konsekuensi politik kelembagaan semata, melainkan juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja ombudsman.  Ombudsman diberi kewenangan yang besar dan memiliki subpoena power, mempunyai hak inisiatif, rekomendasi bersifat mengikat, investigasi serta sanksi pidana bagi yang menghalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan.
Sasaran pengawasannya pun lebih luas, tidak hanya instansi pemerintah dan penyelenggara negara tetapi mencakup juga BUMN, BUMD, bahkan swasta atau perorangan yang melakukan pelayanan publik dan mendapatkan dana dari APBN atau APBD. 
Pada awalnya, Ombudsman hanya menangani maladministrasi saja namun dengan menggunakan pendekatan good governance.  Namun pada perkembangannya Ombudsman juga berfungsi melindungi hak asasi manusia, bahkan juga bertindak sebagai institusi anti korupsi.  Memang di awalnya, ruang lingkup Ombudsman hanya terbatas pada pemerintahan saja, ternyata kini ada berbagai negara yang memperluas kewenangannya sampai ke wilayah swasta.
Peran Ombudsman dipandang semakin penting dalam sistem ketatanegaraan, demokrasi dan perlindungan hak-hak masyarakat dengan mendorong pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab.  Ombudsman didirikan selain untuk menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah dan membantu aparatur juga sebagai penjaga agar penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara efisien dan adil, juga untuk mendorong pemegang kekuasaan melaksanakan pertanggungjawaban serta terciptanya pelayanan publik yang baik.
Selain itu, hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi setiap manusia, sesuai Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebut bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggungjawab pemerintah dan supaya hak untuk memperoleh informasi tersebut dapat terlaksana dengan baik diperlukan adanya jaminan agar tidak terjadi penyimpangan dengan membentuk lembaga yang berfungsi sebagai pengawas dan ombudsman adalah lembaga tersebut.  Hal ini terkait pula dengan pelaksanaan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, khususnya potensi Komisi Informasi Publik dalam membangun sinergi peran dengan lembaga-lembaga lain dalam mendorong keterbukaan informasi publik guna pencegahan dan pemberantasan korupsi.

D.    Kesimpulan
Suatu bentuk pertanggungjawaban negara terhadap perlindungan hak asasi adalah dengan membentuk sarana perlindungan terhadap hak asasi manusia baik itu perlindungan preventif maupun perlindungan represif.  Indonesia telah menunjukkan akan hal tersebut dengan membentuk lembaga baik lembaga peradilan maupun lembaga non peradilan sebagai bentuk sarana perlindungan bagi hak asasi manusia.
Komnas HAM dan Ombudsman merupakan dua lembaga dari berbagai macam lembaga nasional HAM yang ada di Indonesia.  Kedua lembaga ini telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit atas pemajuan dan penegakan HAM nasional.
Kinerja lembaga nasional HAM dikatakan berhasil apabila lembaga tersebut berhasil menerapkan dan mengimplementasikan elemen standar yang sudah tersedia dan sejauh mana dampak positif dari keberadaan lembaga tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat (civil society).
Ombudsman memiliki kriteria tersendiri yang membedakannya dengan lembaga peradilan dan lembaga non peradilan khususnya dalam bahasan ini adalah Komnas HAM.  Perbedaan Ombudsman dengan lembaga peradilan antara lain : a. Ombudsman bersifat aktif, karena. selain menerima pengaduan juga berwenang atas inisiatif sendiri melakukan pemeriksaan atas dugaan adanya suatu pelanggaran hukum atau hak asasi manusia oleh petugas publik; b. melakukan penilaian baik dari aspek rechtmatigheid maupun doelmatigheid; c. tidak berwenang membuat suatu keputusan yang mengikat secara hukum (non legally binding); d. Susunan kelembagaan tidak bertingkat seperti pengadilan;  e. Ombudsman tidak bertindak sebagai hakim yang menyelesaikan perkara/perselisihan (dispute resolution), dan f.. Ombudsman tidak hanya menilai perbuatan hukum (recthishandeling decision) akan tetapi perbuatan nyata (feitlijkehandeling/action).  Sedangkan perbedaan Ombudsman dengan Komnas HAM antara lain a. Ombudsman memiliki yurisdiksi yang lebih luas dibandingkan dengan Komnas HAM; dan b. Ombudsman tidak untuk menyelesaikan perselisihan karena ombudsman merupakan penengah.

 
DAFTAR PUSTAKA

Hadjon , Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Cetakan Pertama, Surabaya  : PT. Bina Ilmu, 1987
Institusi Nasional Hak Asasi Manusia: Buku Pedoman Pembentukan dan Penguatan Institusi Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pusat Hak Asasi Manusia PBB, 2000
Lembaga Nasional Untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia: Lembar Fakta.19, Jakarta:Komnas HAM/British Council, 2000
Sujata, Antonius et al., Ombudsman Indonesia Masa  Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, Jakarta: Obudsman, 2002

Peraturan perundang-undangan
UUD 1945
UU No. 39 Tahun 1999
UU No. 26 Tahun 2000
UU No. 37 Tahun 2008
UU No. 14 Tahun 2008
Keppres No. 44 Tahun 1999


[1] Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Cetakan Pertama, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, h. 2. 
[2] Ibid hal.5
[3] Pasal 2 juncto pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.  
[4] Lembaga Nasional Untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia: Lembar Fakta.19, Jakarta:Komnas HAM/British Council, 2000, hal 265
[5] Ibid  hal 269
[6] Institusi Nasional Hak Asasi Manusia: Buku Pedoman Pembentukan dan Penguatan Institusi Nasional untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Pusat Hak Asasi Manusia PBB, 2000 hal. 14
[7] Ibid hal 66
[8] Op cit hal 266
[9] Pasal 76 UU No. 39 Tahun 1999
[10]  Komisi sejenis yang telah memasukkan pemberian imunitas ini adalah Malaysia. Lihat Position Paper Amandemen UU No. 39 Tahun 1999, yang diajukan sejumlah organisasi non pemerintah.

[11] Sujata, Antonius et al., Ombudsman Indonesia Masa  Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang, Jakarta: Obudsman, 2002 p. 4
[12] Pasal 4 UU No. 37 Tahun 2008
[13] Pasal 7 UU No. 37 Tahun 2008

1 komentar:

  1. postingannya bagus bgt,,jadi aq bisa ambil buat referensi tgs kulyh...Tq

    BalasHapus

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...