A. Pendahuluan
Supremasi hukum yang berkeadilan saat ini masih sangat lemah, terdapat jurang yang lebar antara yang normatif dan penegakannya. Pelanggaran hak asasi masih tetap terjadi, bukan hanya di tempat-tempat penahanan/penghukuman akan tetapi juga tempat umum lainnya. Sistem hukum dan jajaran aparatur negaranya tidak mampu menjawab berbagai kasus yang terkait dengan pelanggaran berat hak asasi masa lalu hamper sepuluh tahun terakhir ini.
Budaya impunitas terus menjangkiti sistem hukum dikhawatirkan akan terus memproduksi budaya kekerasan maupun menghancurkan sistem demokrasi yang sudah ada. Warisan pola feodalistik dan militeristik dalam institusi masih kuat mengakar. Reformasi pun belum menyentuh reformasi kultural dan belum melembaga.
Berbagai kesenjangan ini terjadi antara lain karena, pertama, upaya penegakan hak asasi manusia lebih menekankan formalisme hukum daripada penataan ulang politik hak asasi manusia. Kedua, karena monopoli akses atas sumber-sumber daya publik oleh modal dan birokrat, yang pada gilirannya menghambat proses politik dan penegakan hukum demi pemenuhan hak-hak asasi manusia. Ketiga, karena tidak tersedianya otonomi asosiasional bagi hadirnya demokrasi substantif; yaitu peluang rakyat (terutama lapisan bawah) mengorganisasikan diri demi mempertahankan kepentingan dan identitas sendiri tanpa takut akan dicampuri atau diganggu oleh pemerintah.
Hal ini tampak dari kenyataan yang meletakkan rakyat sekedar sebagai ‘clients’, yang tersubordinasi. Rakyat menjadi objek kegiatan akibatnya rakyat harus mengorbankan hak mengartikulasi kepentingan secara otonom sehingga tak dapat mengakses sumber-sumber daya publik. Lembaga-lembaga negara maupun masyarakat tak mampu menawarkan pelayanan publik dalam memoderatkan, moderasi/mediasi konflik-konflik politik, dan refining political demands.
Pelanggaran hak-hak asasi manusia senantiasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan peta rezim politik yang berkuasa. Namun hal tersebut tidak mengabaikan tentang tanggung jawab negara atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
Perkembangan pengaturan hukum hak asasi manusia di dunia internasional memberikan dampak besar bagi Indonesia. Seakan tidak ingin tertinggal dengan negara-negara lain, Indonesia dengan cepat membuat sarana perlindungan hak asasi manusia, seperti membentuk lembaga peradilan dan lembaga non-peradilan di samping serangkaian proses legislasi yang telah dilakukan. Meskipun demikian, sarana perlindungan hak asasi manusia tidak bisa dikerdilkan hanya pada lembaga peradilan dan lembaga non-peradilan saja, tetapi harus lintas departemen, dan menjadi tanggung jawab seluruh jajaran pemerintahan mulai dari Presiden hingga unit pemerintahan terkecil di bawah tanpa terkecuali supaya permasalahan pelanggaran HAM akan dapat tercegah dan diselesaikan secara komprehensif, koordinatif dan strategis sehingga tidak dimungkinkan lagi adanya sektoralisme penyelesaian masalah-masalah penegakan hak asasi manusia. Dalam tulisan berikut, masalah dirumuskan menjadi :
1. Sarana perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.
2. Lembaga Nasional hak asasi manusia dalam pemajukan dan penegakan HAM Nasional.