Selasa, 18 Januari 2011

IMPLIKASI PERSONA NON GRATA TERHADAP PERWAKILAN DIPLOMATIK

A.          PENDAHULUAN
Perwakilan diplomatik yang dikirimkan oleh sesuatu negara ke negara lainnya telah dianggap bersifat suci dan memiliki kekhususan tersendiri sehingga sebagai konsekuensinya, mereka dalam melaksanakan tugasnya diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik.  Hal ini merupakan aturan kebiasaan hukum internasional yang telah ditetapkan.  Adapun kekebalan dan keistimewaan tersebut tidak hanya melekat pada perwakilan diplomatuk saja melainkan termasuk anggota keluarga yang tinggal bersamanya, harta milik, gedung dan komunikasi serta dokumentasi.
Pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada perwakilan diplomatik bertujuan untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama tugas dari negara yang diwakilinya.  Pemberian hak-hak tersebut berdasarkan asas timbal balik (principle reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle mutual consent) antarnegara.  Hal ini mutlak diperlukan dalam rangka mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial yang berbeda dan bukan untuk kepentingan perseorangan.
Namun perwakilan diplomatik tidak seharusnya berlindung kepada atributnya yang memberikan kekebalan dan keistimewaan pada saat melakukan kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum nasional negara penerima dimana kegiatan tersebut bertentangan dengan fungsi dan tugasnya sebagai seorang perwakilan diplomatik terlebih hanya anggota keluarganya saja.  Dalam hal ini, jika terjadi pelanggaran terhadap hukum nasional negara penerima, perwakilan diplomatik tetap memiliki kekebalan dari yurisdiksi negara penerima karena itu merupakan bagian dari kekebalan dan keistimewaan yang sudah diatur dalam Konvensi Wina 1961.
Meskipun demikian, kekebalan dan keistimewaan tersebut tidak bersifat absolut karena negara penerima mempunyai kewenangan untuk menolak perwakilan diplomatik yang dianggap bermasalah dengan menyatakan sebagai persona non grata.  Pernyataan persona non grata tersebut mengakibatkan kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik tidak lagi dimilikinya sehingga negara penerima dapat menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap orang yang bersangkutan tersebut.
Permasalahannya, apakah pernyataan persona non grata dapat menimbulkan akibat hukum terhadap perwakilan diplomatik saja atau memiliki akibat hukum terhadap hubungan Diplomatik diantara kedua negara.  Berdasarkan kondisi itu lah pembahasan makalah “IMPLIKASI PERSONA NON GRATA TERHADAP PERWAKILAN DIPLOMATIK dibatasi dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Persona Non Grata ditinjau dari Konvensi Wina 1961.
2.      Implikasi Persona Non Grata.

B.           PEMBAHASAN
  1. Personan Non Grata ditinjau dari Konvensi Wina 1961
Pengangkatan Duta Besar dan Atase Pertahanan memerlukan persetujuan terlebih dahulu sebagai orang-orang yang dapat diterima untuk memangku jabatan-jabatan tersebut (persona grata).[1]  Hal tersebut dinyatakan dalam sebuah persetujuan (agrément) yang diatur dalam Konvensi Wina Pasal 4.
Article 4
1.      The sending State must make certain that the agrément of the receiving State has been given for the person it proposes to accredit as head of the mission to that State.
2.      The receiving State is not obliged to give reasons to the sending State for a refusal of agrément.

Berkenaan dengan Duta Besar (kepala misi),  negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan (agreement) dari negara penerima telah diperoleh untuk orang yang oleh negara pengirim itu diusulkan untuk dikirimkan sebagai Duta Besar (kepala misi) ke negara tersebut.  Dengan demikian, untuk pengangkatan duta besar, negara pengirim harus terlebih dahulu meminta agrément dari negara penerima terhadap calon yang diajukan.  Agrément dapat diperoleh setelah negara pengirim memberitahukannya terlebih dahulu dengan disertai hal ikhwal yang berkaitan dengan latar belakang calon duta besar (curriculum vitae) yang memang diperlukan oleh negara penerima.  Hal tersebut diperlukan sebagai bahan pertimbangkan dalam memberikan agrément apakah calaon tersebut dinyatakan sebagai persona grata atau sebaliknya, yaitu persona non grata.
Sebelum pengangkatan Duta Besar, negara pengirim harus sudah memperoleh kepastian bahwa agrément dari negara penerima telah diberikan kepada seseorang yang telah dicalonkan sebagai Duta Besar di negara tersebut.  Kepastian tersebut berupa jawaban mengenai pemberian agrément atas calon Duta Besar dari negara penerima.  Begitu pula dengan pengangkatan atase-atase militer, laut, dan udara, negara pegirim harus terlebih dahulu memajukan nama-namanya untuk memperoleh persetujuan atau dinyatakan dapat diterima (persona grata) oleh negara penerima.
Jawaban terkait dengan pemberian agrément dapat disampaikan secara tertulis atau secara lisan.  Namun tidak menutup kemungkinan negara penerima menunda dalam memberikan jawaban terkait dengan pemberian agreement.  Perlakuan yang seperti itu, pada hakikatnya dapat diartikan bahwa negara penerima secara diam-diam menolak (persona non grata) calon tersebut dan meminta negara pengirim mencari penggantinya yang lain.  Jika negara penerima menolak memberikan agreement tersebut, tidak diwajibkan kepadanya untuk memberikan alasan penolakannya.
Dari uraian di atas, dapat didefinisikan bahwa persona non grata sebagai sikap politik yang dilaksanakan oleh pemerintah tentang penolakan/ketidaksukaan (not acceptable)nya terhadap (seseorang) warga negara asing yg berada di wilayah negaranya yang memiliki kekebalan diplomatik.  Pengaturan persona non grata dalam Konvensi Wina 1961 diatur dalam Pasal 9. 
Article 9
1.           The receiving State may at any time and without having to explain its decision, notify the sending State that the head of the mission or any member of the diplomatic staff of the mission is persona non grata or that any other member of the staff of the mission is not acceptable.  In any such case, the sending State shall, as appropriate, either recall the person concerned or terminate his functions with the mission. A person may be declared non grata or not acceptable before arriving in the territory of the receiving State.
2.           If the sending State refuses or fails within a reasonable period to carry out its obligations under paragraph 1 of this article, the receiving State may refuse to recognize the person concerned as a member of the mission.

Maksudnya adalah negara penerima dapat menyatakan kepada negara pengirim bahwa Duta Besar (kepala misi)nya atau seseorang anggota staff diplomatiknya adalah persona non grata, atau bahwa seseorang anggota lainnya dari staf misi tidak dapat diterima (not acceptable).  Terkait dengan hal tersebut, negara pengirim harus memanggil orang tersebut (yang dinyatakan persona non grata) atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misi.  Pernyataan persona non grata oleh negara penerima dapat dilakukan setiap saat dan tanpa adanya kewajiban untuk memberikan penjelasan atas keputusannya tersebut.
Selain itu, negara penerima dapat menyatakan persona non grata terhadap seseorang sebelum orang yang bersangkutan sampai di dalam teritorial negara penerima.  Jika negara pengirim menolak keputusan negara penerima terkait pernyataan persona non grata tersebut atau gagal di dalam periode waktu yang pantas untuk melakukan kewajibannya melakukan kewajibannya memanggil orang yang bersangkutan atau mengakhiri fungsi-fungsinya di dalam misinya maka negara penerima boleh menolak untuk mengakuinya sebagai anggota misi.



  1. Implikasi Persona Non Grata
Persona non grata yang dikeluarkan oleh negara penerima tidak saja untuk perwakilan diplomatik yang sudah bertugas di negaranya melainkan juga dapat dilakukan untuk calon perwakilan diplomatik, khususnya terkait dengan Duta Besar dan atase militer.  Sehubungan dengan pencalonan duta besar, menurut Oppenheim, pengangkatan perwakilan diplomatik ini, hukum internasional tidak menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang supaya dapat diangkat menjadi seorang duta atau konsul, semua persyaratan ditentukan sendiri oleh tiap-tiap negara.[2]  Namun, menurut Sir Harold Nicholson seorang diplomat harus memenuhi syarat sebagai berikut:[3]
a.      Kejujuran (truthfulness),
b.      Ketelitian (precision),
c.      Ketenangan (calm),
d.     Temperamen yang baik (good temper),
e.      Kesabaran dan kesederhanaan (patience and modesty),
f.       Kesetiaan (loyalty).

Dengan demikian, sudah sewajarnya bahwa dalam pengangkatan duta besar oleh negara pengirim terlebih dahulu harus dimintakan agrément dari negara penerima, sesuai dengan pengaturan hubungan diplomatik dalam Konvensi Wina Pasal 4.  Persona non grata terhadap penolakan calon perwakilan diplomatik, khususnya duta besar disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
(i)            Jika calon tersebut dianggap dapat menggangu hak kedaulatan negara dimana ia akan diakreditasikan, karena sikap pribadinya juga yang disangsikan; seperti halnya dalam kasus Duke of Buckingham, sebagai calon Duta Besar Inggris di Perancis telah ditolak oleh Pemerintah Perancis, ia terbukti “sangat menjengkelkan” (proved obnoxious) terhadap Pemerintah Perancis, karena dianggap telah mencintai Ratu Perancis selam kunjungannya di Paris sebelumnya.
(ii)          Jika menunjukkan rasa permusuhan (hostile act) baik terhadap rakyat maupun lembaga di negara tempat ia akan diakreditasikan; dalam kasus Mr. Keiley, calon Duta Besar Amerika Serikat di Italia dalam tahun 1885 tempat ia telah ditolak oleh Pemerintah Italia karena dalam tahun 1881, ia telah memprotes aneksasi Papal State oleh Italia.  Dan tatkala Pemerintah Amerika Serikat mengangkatnya ke Austria sebagai Duta Besar juga kemudian ditolaknya karena ternyata istrinya seorang Yahudi.
(iii)        Jika ia menjadi pokok persoalan di negara penerima dan Negara akreditasi tersebut tidak mau memberikan kepada calon tersebut kekebalan-kekebalan sebagai calon Duta Besar.[4]

Adapun faktor-faktor penyebab dikeluarkannya pernyataan persona non grata seperti yang diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1961 antara lain :
(i)            Kegiatan politik/suversif.
Negara penerima dapat mem-persona non grata-kan perwakilan diplomatik jika perwakilan diplomatik dianggap atau bahkan diketahui melakukan kegiatan politik/subversif.  Hal tersebut sesuai dengan pengaturan dalam Konvensi Wina Pasal 41.
Article 41
1.      Without  prejudice  to  their  privileges  and  immunities,  it  is  the duty  of all persons enjoying  such privileges  and  immunities  to  respect  the  laws  and  regulations  of  the  receiving  State.  They  also  have  a duty not to interfere  in the internal affairs of that State.
2.      All official  business with  the  receiving State  entrusted  to  the mission by  the  sending State  shall be  conducted  with  or  through  the  Ministry  for  Foreign  Affairs  of  the  receiving  State  or  such  other ministry as may be agreed.
3.      The premises of the mission must not be used  in any manner  incompatible with  the  functions  of the mission  as  laid  down  in  the  present Convention  or by other  rules  of general  international  law  or  by any special agreements  in force between the sending and  the receiving State.

Pasal 41 ayat (1) tersebut merupakan batasan bagi perwakilan diplomatik atas kekebalan dan keistimewaan yang dimilikinya.  Perwakilan diplomatik wajib menghormati menghormati urusan dalam negeri negara penerima dan tidak boleh ikut campur (intervensi) di dalamnya.  Kegiatan politik/subversif dapat dikategorikan ke dalam pelanggaran terhadap ketentuan ini sehingga dapat mengakibatkan dikeluarkannya pernyataan persona non grata kepadanya, seperti kasus yang dialami Duta Besar Lybia di Mesir pada tahun 1976.  Pemerintah Mesir mem-persona non grata-kan Duta Besar Lybia karena dinas keamanan Mesir berhasil mengungkapkan tentang keterkaitannya dalam kegiatan politik/subversif, yaitu membagikan selebaran yang bersifat permusuhan terhadap Pemerintah Mesir di bawah Presiden Anwar Sadat.
(ii)          Pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima.
Hal ini diperuntukkan  kepada staff dan anggota keluarga yang bersama perwakilan diplomatik.  Kekebalan dan keistimewaan staff dan anggota keluarga perwakilan diplomatik  diatur dalam Konvensi Wina Pasal 22 s.d 41 dan batasannya diatur dalam Pasal 27, 36, 41 ayat (1) dan 42.  Staff dan anggota keluarga perwakilan diplomatik yang melakukan pelanggaran terhadap kejahatan berat menurut hukum nasional dan hukum internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 dapat di-persona non grata-kan oleh negara penerima.
Selain itu, negara penerima dapat mengadilinya di pengadilan negara penerima setelah ada kesediaan dari negara pengirim untuk menanggalkan kekebalan dan keistimmewaan diplomatik  dari staff dan anggota keluarga perwakilan diplomatik.  Hal tersebut dikarenakan adanya penyalahgunaan kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang dilakukan bukan dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai perwakilan diplomatik melainkan seringnya merupakan urusan pribadinya di negara penerima, seperti kasus yang terjadi di London pada tanggal 24 Februari 1984, yaitu kasus penyelundupan heroin yang dilakukan oleh Sekretaris III dari Kedutaan Besar Zambia.  Kementerian Luar Negeri Inggris menyatakan permintaan maafnya atas perlakuan polisi atas Sekretaris III dari Kedutaan Besar Zambia tersebut.  Namun setelah itu, dengan adanya bukti yang kuat, Kementerian Luar Negeri Inggris menghubungi Duta Besar Zambia dan meminta mem-persona non grata-kan orang yang bersangkutan tersebut.
(iii)        Kegiatan spionase.
Misi yang diemban oleh perwakilan diplomatik adalah sesuai dengan Pasal 3 Konvensi Wina.
Article 3
1.      The functions of a diplomatic mission consist, inter alia,  in:
(a)   Representing  the sending State  in the  receiving State;
(b)   Protecting  in  the  receiving  State  the  interests  of  the sending State  and of  its nationals,  within  the limits permitted by international  law;
(c)    Negotiating with  the Government of  the receiving State;
(d)   Ascertaining  by  all  lawful  means  conditions  and  developments  in  the  receiving  State,  and reporting  thereon  to the Government of  the sending State;
(e)    Promoting  friendly  relations  between  the  sending  State  and  the  receiving  State,  and  developing their economic, cultural and scientific  relations.
2.      Nothing  in the present Convention  shall be construed  as preventing  the performance of consular functions by a diplomatic mission.

Dari pengaturan tersebut, perwakilan diplomatik diperbolehkan menyampaikan laporan mengenai keadaan dan perkembangan di negara penerima kepada negara pengirim sepanjang hal tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sah.  Kegiatan spionase termasuk dalam kategori cara-cara yang tidak sah karena penyalahgunaan kekebalan dan keistimmewaan yang dilakukan terkait dengan informasi yang dianggap sensitif.  Kegiatan spionase untuk kepentingan negara pengirim merupakan pelanggaran kejahatan dalam kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Indonesia pernah mem-persona non grata-kan seorang Atase Militer Uni Soviet untuk Jakarta, Letnan Kolonel Sergei P. Egorove pada tahun 1982 karena melakukan kegiatan spionase dengan melakukan transaksi sejumlah dokummen rahasia dari Letnan Kolonel Sus Daryanto di sebuah rumah makan di Jakarta.
Letnan Kolonel Sergei P. Egorove tidak dapat diganggu gugat baik dengan berupa penahanan maupun penangkapan karena negara penerima, Indonesia wajib melindunginya jika terjadi serangan baik terhadap pribadinya maupun kehormatannya, dan membebaskannya dari yurisdiksi pidana, perdata dan administrasi dari Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Konvensi Wina 1961 Pasal 29.
Article 29
The person  of a diplomatic  agent  shall  be  inviolable.  He  shall  not  be  liable  to any  form  of  arrest or detention.  The  receiving  State  shall  treat  him with due  respect and  shall  take all  appropriate  steps  to prevent any attack on his person,  freedom or dignity.

Namun ada pengecualian, seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1961 Pasal 31.
Article 31
1.      A  diplomatic  agent  shall  enjoy  immunity  from  the  criminal  jurisdiction  of  the  receiving  State.  He shall also enjoy  immunity  from  its civil and administrative  jurisdiction,  except  in the case of:
(a)   A real action relating  to private  immovable property  situated  in  the territory of  the  receiving State, unless he holds  it on behalf of the sending State  for  the purposes of the mission;
(b)   An  action  relating  to  succession  in  which  the  diplomatic  agent  is  involved  as  executor, administrator, heir or legatee as a private person and not on behalf of the sending State;
(c)    An action  relating  to any professional  or commercial activity exercised  by  the diplomatic  agent  in the receiving State outside his official  functions.
2.      A diplomatic agent is not obliged  to give evidence as a witness.
3.      No measures  of  execution  may  be  taken  in  respect  of  a  diplomatic  agent  except  in  the  cases coming  under  subparagraphs  (a),  (b)  and  (c)  of  paragraph  1  of  this  article,  and  provided  that  the measures concerned can be taken without  infringing  the  inviolability  of his person or of his residence.
4.      The immunity  of a diplomatic agent  from  the jurisdiction  of the  receiving State does not exempt him from  the jurisdiction of the sending State.

Pemerintah Indonesia dengan berdasarkan Pasal 31 tersebut mem-persona non grata-kan Letnan Kolonel Sergei P. Egorove dengan menghubungi  Duta Besar Uni Soviet di Indonesia dengan memberitahukan keputusan Pemerintah Indonesia tersebut dan meminta Letnan Kolonel Sergei P. Egorove segera meninggalkan Indonesia begitu pula dengan Finenko, perwakilan dari  Kantor Aeroflot.
Dengan demikian, Persona non grata berimplikasi tidak hanya pada kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik saja melainkan juga pada berakhirnya masa jabatan dari perwakilan diplomatik yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Konvensi Wina 1961 Pasal 43.
Article 43
The function of a diplomatic agent comes  to an end,  inter alia:
(a)   On  notification  by  the  sending  State  to  the  receiving  State  that  the function  of  the  diplomatic agent has come  to an end;
(b)   On notification  by  the  receiving State  to  the sending State  that,  in accordance with paragraph  2 of article 9, it refuses  to recognize  the diplomatic agent as a member of the mission.

Pasal 43 haruf (b) menyatakan bahwa dengan adanya pernyataan persona non grata menjadi salah satu faktor penyebab berakhirnya masa jabatan yang bersangkutan dalam perwakilan diplomatik di negara penerima.  Dengan berakhirnya fungsi perwakilan diplomatik maka berakhir pula kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki oleh perwakilan diplomatik tersebut.

C.          KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu :
1.       Persona non grata ditinjau dari Konvensi Wina 1961 merupakan hak yang dimiliki oleh negara penerima dalam hubungan diplomatik yang bertujuan untuk menjaga dan melindungi kepentingan negara serta harga diri dari negara penerima.  Hal ini dikarenakan dalam pembukaan hubungan diplomatik dengan dengan negara lain melalui suatu instrumen berdasarkan atas asas timbal balik (principle reciprocity) dan asas saling menyetujui (principle mutual consent).
2.      Persona non grata akan berimplikasi terhadap masa jabatan dari perwakilan diplomatik, sesuai dengan Pasal 43 ayat (2) Konvensi Wina dan dengan berakhirnya masa jabatan tersebut maka berakhir pula kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik yang bersangkutan sehingga negara penerima dapat memberlakukan yurisdiksi nasionalnya kepada yang bersangkutan dengan terlebih dahulu memberitahukan kepada negara pengirim dan meminta persetujuannya.


DAFTAR BACAAN

Buku
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Nicholson, Harold, Diplomacy, London: Oxford University Press, 2nd, ed., 1950

Oppeheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I, Longmans Green & Co., 8th, ed., 1960

Suryokusumo . Sumaryo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, PT. ALUMNI, Bandung, 2005

----------  , Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 1990

Peraturan Perundang-undangan

Konvensi Wina 1961



[1] Dalam hal negara penerima memberikan persetujuan terhadap seseorang yang disarankan untuk diangkat sebagai Duta Besar dari negara pengirim, seseorang itu dikatakan dapat dinyatakan dapat diterima atau Persona grata dan persetujuan itu harus disampaikan secara resmi sebelum pengangkatan orang tersebut melalui pengumuman.
(vide : Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, Bandung: PT. ALUMNI, 2005, hal. 109
[2] Oppeheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I, Longmans Green & Co., 8th, ed., 1960, hal. 769-770
[3] Harold Nicholson, Diplomacy, London: Oxford University Press, 2nd, ed., 1950, hal. 55
[4] Sumaryo Suryokusumo, Op. cit. Hal.119-120 yang juga merupakan kutipan dari Narider Mehta, International Organizations and Diplomacy, hal. 43 dan 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DIGIPAY - MARKETPLACE, TRANSFORMASI BELANJA PEMERINTAH MENUJU CASHLESS SOCIETY

  Perubahan Perilaku Belanja Pemerintah Pembayaran belanja pemerintah yang masih menggunakan transaksi tunai adalah pembayaran melalui mek...